20 Januari 2014

3.7K 1.2K 418
                                    

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentarI'd really appreciate it

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seharusnya aku tidak membuat janji sembarangan. Aku sudah mengumbarnya ke mana-mana—ke Annemie, ke Olive .... Namun, semuanya sudah terucap, dan hal paling baik yang bisa kulakukan adalah berusaha untuk tidak mati.

Aku meneguhkan niat dan membulatkan tekad. Aku masuk ke rumah itu, tetapi belum ada aktivitas berarti di sana karena malam belum larut. Aku menjelajah, tetapi tidak ada hal berarti yang bisa kutemukan kecuali perabot usang dan ruangan-ruangan apak yang terang benderang. Ruang dan Waktu dibengkokkan di sana. Satu kali, aku berada di lantai dua tanpa merasa mendaki tangga lebih dulu. Lalu tahu-tahu aku berada di bawah lagi. Dari jendela di satu ruangan, langit terang seperti siang, matahari begitu terik. Di jendela di ruangan lain, langit malam membentang tanpa cela, mendung dan gelap gulita.

Aku merasa ini baru beberapa menit, tetapi bisa saja aku sudah terjebak di sana berhari-hari. Aku hanya sewujud arwah, dan rumah ini adalah rumah lintas dunia—Ruang dan Waktu sama sekali bukan apa-apa di sini.

Ketika akhirnya aku mencapai ruang tengah, mulai terjadi aktivitas dan gangguan. Jendela menampakkan langit gelap dan jam dinding yang mati tiba-tiba menggerakkan jarumnya, menunjukkan tengah malam. Televisi menyala dan mati berulang kali dengan sendirinya, suara anak-anak yang bermain dan bertengkar terdengar di kejauhan. Lampu-lampu meredup.

Aku berbalik dari televisi, dan di sanalah dia: si anak pirau—Gray, diriku sendiri dari versi lain dunia. Dia berdiri di undakan terbawah tangga. Aku melangkah mendekatinya, cukup dekat hingga dia bisa saja melompat menerjangku kalau dia mau.

"Mana jasadku?" Aku bertanya ketus. Rasanya aneh sekali mengasari anak perempuan yang masih kecil, dan anak kecil itu adalah diriku sendiri. Yah ... kalau dipikir lagi mungkin masuk akal saja, mengingat belakangan ini aku memang sedang mengembangkan kebencian baru terhadap diri sendiri.

"Dengan Jerau," jawab Gray. Gigi-giginya yang kecil dan tidak rata menggertak. "Aku masih tidak mengerti kenapa dia melepaskanmu berkali-kali—padahal dia bisa saja langsung memberikan badanmu padaku. Tapi, bakal kupastikan dia langsung menelanmu malam ini—dan aku bisa keluar dari sini pakai badanmu."

"Kau tidak mau badanku atau pulang ke rumahku—percayalah." Aku memberi tahu. "Hidupku berantakan sekarang."

"Lebih baik daripada MATI!"—Dia meneriakkan kata terakhir itu dengan kebencian sepenuh hati. Kepalanya membesar seperti balon yang dijejali gas dalam sekejap, kulitnya merah meradang, matanya yang pucat berubah hitam, dan mulutnya terbuka lebar menampakkan kekosongan.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang