13 Januari 2014

4.1K 1.2K 318
                                    

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentarI'd really appreciate it

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rumahku gelap sekali meski lampu depannya menyala. Dari kejauhan saja ia sudah tampak mencolok karena catnya paling pudar, pagarnya berkarat, halamannya gersang, dan lantai terasnya dipenuhi kotoran codot serta sisa-sisa buah yang mereka bawa.

Dulu sudah membersihkan kotoran itu tiap hari, tetapi mereka terus berdatangan tiap malam dan menghilang paginya. Hanya karena aku mulai malas dan luput membersihkannya satu atau dua hari, kotoran itu jadi menempel dan membekas. Entah sejak kapan, aku tidak memedulikannya lagi dan hanya menyiramnya dengan air sebulan sekali.

Sekarang tentu saja makin parah. Kutinggalkan berhari-hari, lantai teras telah beralih fungsi menjadi kakus pribadi para codot.

"Apa ini?" Olive berjingkat-jingkat di antara kegelapan yang menutupi lantai keramik teras rumahku.

"Tahi codot," kataku.

"Iiiih!"

"Injak saja!" Wilis mendesak tidak sabaran. Dia sudah berdiri di depan pintu dengan tangan di kenop. "Mana kuncinya?"

Olive memberikan kunci rumah yang diambilnya dari dalam ranselku. Semua bawaanku memang masih tertinggal di kamar Wilis karena Jerau tidak memberi peringatan sebelum menjadikanku hantu.

"Sori, ya, Grey." Wilis bergumam sendiri. "Kami masuk, ya."

Meski dia tidak akan bisa mendengar atau melihatku, aku tetap memutar bola mata. "Tidak apa-apa."

Wilis mengangkat bahunya dan menatap Olive. "Kau merasa dingin tidak, sih? Aku tiba-tiba menggigil."

Olive menyengir. "Mungkin anjing setannya sedang menjilati sepatumu."

Wilis mencopot dan menjinjing sepatunya masuk, sedangkan Olive melangkah ke dalam begitu saja dengan alas kaki masih terpasang. Aku hampir menyalak kepada gadis itu, tetapi kemudian aku teringat betapa gadis itu selalu memakai alas kakinya hampir tiap saat—dia pakai sandal bulu dalam rumah, sandal karet ke toilet, dan sering kali ditegur karena memasuki perpustakaan dengan sepatu masih terpasang.

Malah, aku ingat Desember tahun lalu saat Wilis mimisan dihajar Navy habis main bola, Olive masuk ke UKS membawakan tas kakaknya dengan masih memakai sepatu. Dan sehabis menggali emas di samping kuburan di pekarangan mereka, gadis itu juga yang membuat kami bermasalah dengan tapak sepatunya yang bercelemot tanah di sepanjang lorong dapur sampai gudang semi-basement, membuat ibunya murka luar biasa.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang