25 Januari 2014

4.8K 1.2K 685
                                    

Tidak semua hal berakhir baik setelah aku melepaskan diri dan jiwa semua anak yang tersesat dari Rumah Jerau

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak semua hal berakhir baik setelah aku melepaskan diri dan jiwa semua anak yang tersesat dari Rumah Jerau. Pertama-tama, Wilis marah sekali—kami bertinju pagi ini di halaman rumahku, dengan Olive yang duduk di jok belakang motor kakaknya, menonton sambil memakan keripik kentang.

"Apa, sih, susahnya bilang kalau kau berencana membebaskan jiwa-jiwa itu?!" Wilis meraung seraya menindihku dan tangannya mencengkram kerah bajuku, sementara lututku bersarang di perutnya. "Apa, sih, susahnya menjelaskan kalau kau tidak berniat pilih pintu yang mana saja? APA SUSAHNYA BILANG KAU TIDAK BERNIAT MEMBUNUH ADIKKU, BERENGSEK!"

"Susahnya adalah aku terburu-buru malam itu dan tengah malam hampir berakhir! Kau, 'kan, lihat sendiri, terlambat sedetik saja, rumah itu bakal hilang!" Aku berguling dan mengganti posisi kami. "Kau sendiri juga lelet mencerna cerita dan penjelasanku!"

Kami bergulat selama beberapa menit, lalu berhenti setelah merasakan pegal-pegal dan kejang otot.

"Bekas dihajar Navy masih ada memarnya," ringis Wilis. "Dan kepalaku baru lepas perban pagi ini."

Duduk dengan satu lutut terangkat di lutut, aku menatapnya. "Olive bilang, benjolnya sebesar bakpau—aku lihat, dong."

Wilis menunduk dan menyibakkan rambutnya. Aku meringis saat melihat benjolan itu—tidak sebesar bakpau, tetapi cukup besar untuk menghantui mimpi burukku seminggu ke depan.

"Jadi ..." kata Olive seraya beranjak turun dari atas jok motor. Bungkusan keripik kentang yang sudah kosong dicampakkannya ke pangkuan Wilis. Tangannyayang lain diperban menutupi bekas luka bakar. "Biar kuluruskan—Grey, kamu dulu pernah tanpa sengaja menyelamatkanku dari maut?"

"Garis bawahi tanpa sengaja itu," kataku. "Aku bahkan belum mengenalmu."

"Yah, jodoh memang tidak ke mana. Jadi, intinya, kau melepaskan kesempatan untuk bisa menemukan kakakmu kembali, dan karenanya aku masih di sini ... hidup, alih-alih meninggal karena infeksi atau tetanus parah di kaki." Bahunya melorot. "Nah, sekarang aku jadi merasa bersalah. Ini bukan gara-gara kalimatku di telepon waktu itu, 'kan?"

"Salah satunya memang itu," akuku. "Tapi, kurasa alasan lainnya adalah Kak—" Aku menjilat bibir yang terasa kering mendadak. "Karena mendiang Kak Zamrud."

Wilis menghela napas. "Kau melewatkan pemakamannya kemarin. Bahkan Kak Safir datang dan menanyakanmu."

"Iya ... nanti aku bakal melayat." Kutatap lututku yang dekil oleh tanah dan rumput basah. "Waktu kalian meneleponku ... memberi tahu kalau Kak Zamrud meninggal, hal pertama yang terpikirkan olehku adalah kalimatnya tentang kakakku. Dia bilang, kakakku orang baik. Lalu, aku memikirkan kalimat Olive bahwa kakakku mungkin pergi agar aku tidak ikut tenggelam bersamanya ... kurasa itu ada benarnya. Jadi, kalau aku menerima tawaran Jerau, artinya aku membunuh diriku sendiri. Dan kalau aku membunuh diriku sendiri, artinya aku menyia-nyiakan pengorbanan kakakku dan semua usahanya selama ini untuk menolongku. Aku juga menyia-nyiakan setiap tetes darah Mama saat beliau melahirkanku. Aku menyia-nyiakan semua cinta kasih ayahku. Dan aku menyia-nyiakan nyawaku sementara ada banyak sekali anak di luar sana yang ingin hidup ... diriku yang satu lagi, contohnya."

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang