9 Januari 2014

3.7K 1.2K 132
                                    

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentarI'd really appreciate it

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hei."

Aku menoleh. Seluruh pemandangan sekolah lenyap. Aku kembali ke tanah kosong di jalan tusuk sate, dengan rumput setinggi lutut dan tanahnya yang berlumpur. Di atasku, langit jingga kekuningan, agak gelap, tetapi cahaya mataharinya menusukku—menusuk mata, menusuk muka, menusuk sekujur badanku. Kurasa, hanya tinggal setengah atau satu jam lagi sebelum malam.

Pandanganku masih terdistorsi, maka aku terkesiap saat melihat sekumpulan anak-anak yang berupa kabut, tak berwajah, tak berkaki, dan beberapanya bahkan nyaris tidak terlihat.

Paling depan dan paling jelas, adalah seorang bocah perempuan—mungkin empat atau lima tahun. Matanya berupa rongga hitam gelap, rambutnya lepek seperti habis kebasahan, dan dia masih pakai piama bermotif anak-anak bebek. Wujudnya berkedip transparan.

"Halo?" kataku.

"Kenapa kau bisa lolos darinya?" tanyanya tiba-tiba.

"Apa?" balasku bertanya. "Aku tidak mengerti—"

"Kau lolos lagi dari makhluk itu," ujar si bocah perempuan. Dia melambaikan tangan hantunya ke anak-anak di belakangnya yang nyaris tidak berbentuk. "Sebagian besar dari mereka bahkan tidak keluar lagi saat kunjungan pertama memasuki rumahnya. Aku keluar saat kali pertama dan kedua, tapi dia menangkapku pada kunjungan ketiga. Kau—ini kunjungan ketigamu ... tapi lagi-lagi dia membiarkanmu."

Aku mengamatinya lekat-lekat, lalu terkesiap.

"Kamu yang mencoba kabur dari jendela itu," kataku sambil mengerjap. "Yang mencoba melompat dengan jalinan seprai, ya, 'kan? Tapi, Jerau menangkapmu?"

"Menyeretku di kaki," katanya, "memakan badanku, mengunci ruhku di rumahnya. Seperti anak-anak lain di sini, sekarang kehadiranku tertaut di sini—di lokasi-lokasi rumah itu akan muncul kembali."

Aku mencoba mengerjap, tetapi aku rasanya aneh—wajahku kebas.

"Rumah itu ... akan muncul lagi? Malam ini?"

"Kami masih di sini—jadi artinya, iya, bakal muncul lagi."

Aku mengamati wajah si anak perempuan, atau anak-anak lain di belakangnya yang mulai melayang gelisah, tetapi lagi-lagi mataku seperti dibutakan—sama seperti ketika aku mencoba membaca Kinantan, atau melihat kepada para Entitas. Aku tidak bisa melihat kehidupan mereka sebelum ini, atau kapan mereka mati. Kurasa, inilah yang terjadi saat Jerau memangsa anak-anak ini—dia melahap hingga ke intisari kehidupan mereka, sampai ke identitasnya.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang