23 Januari 2014

3.4K 1.1K 250
                                        

Terakhir kucek, Kak Zamrud belum sadarkan diri—dia agak telambat mendapat penanganan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terakhir kucek, Kak Zamrud belum sadarkan diri—dia agak telambat mendapat penanganan. Penyakit asma yang dideritanya memperpanjang masa krisisnya.

Olive dan Wilis sudah sadarkan diri. Meski luka-luka, Wilis gegar otak ringan, dan Olive nyaris kehilangan sebelah pendengarannya, mereka sudah jauh lebih baik dan mampu bicara saat aku pergi. Ayah dan ibu mereka cemas setengah mati, bergantian menjaga keduanya dan tidak membiarkan anak-anak mereka sendirian satu detik pun.

Aku pulang duluan, menolak dirawat inap. Aku langsung pergi diam-diam setelah menghindari perawat yang menanyakan kontak keluargaku.

Dengan perasaan hampa, badan pegal-pegal dan letih, aku pulang sambil menenteng-nenteng mangkuk antik yang retak. Mangkuk itu terasa berat, padahal sudah tidak ada Annemie di sana. Dan tidak ada Annemie saat aku sampai di rumahku. Tasku tertinggal di rumah keluarga Wilis, kemungkinan besar sudah terbakar, bersama dompet dan ponselku di sana.

Dengan tangan diperban sampai bahu dan kaki berkoreng, aku mandi, lalu berganti pakaian. Aku duduk di atas karpet yang apak dan berdebu, tercenung. Aku tidak punya luka bakar seperti Olive dan Kak Zamrud, tidak pula mengalami benturan kepala seperti Wilis. Aku hanya mengalami luka gores dan terkilir di kaki, paling parah adalah memar yang disebabkan perkelahian dengan Navy dan ranting yang menancap di lenganku. Dan itulah yang membuatku jadi bertanya-tanya ....

Kenapa malah aku yang baik-baik saja?

Kenapa cuma aku yang paling baik-baik saja?!

Kenapa—

Terdengar suara meongan kecil dari sampingku, membuatku terperanjat. Aku menoleh dan mengernyit saat melihat Denim mengeong ke arahku.

"Dari mana kau masuk?"—Lalu, pandanganku jatuh kepada mangkuk antik yang menggeletak di lantai, tutupnya terbuka. "Sejak semalam kau di sana?" Aku mengangkatnya, buntutnya bergetar. "Hebat sekali—aku bisa membedakan apakah mangkuk itu berisi hantu atau tidak, tapi tidak tahu ada anak kucing menyusup di dalamnya."

Mengabaikan rasa sakit dan perih, aku bergerak ke dapur. Tidak ada makanan di dapurku, tetapi selalu ada sebungkus makanan kucing di laci konter—biasanya aku selalu menyimpan beberapa bungkus untuk kucing liar yang mampir ke rumah. Sambil menonton Denim makan, aku melepaskan perban tanganku dan membiarkan bekas lukanya tampak.

Sampai siang, aku tidak melakukan apa-apa selain duduk, ketiduran, minum, dan duduk lagi. Perutku perih, tetapi aku aku terlalu lemas untuk berjalan keluar mencari makanan. Lagipula, hanya ada receh yang tersisa dalam laci.

Telepon rumah berdering beberapa kali. Aku mengabaikan hampir semua telepon masuk, tetapi sempat mengangkat dua panggilan di antaranya. Yang pertama adalah Wilis, bertanya dengan marah di mana aku berada. Yang kedua dari Olive, bertanya keadaanku dan kenapa aku pergi begitu saja tanpa berkata apa-apa. Meski aku mengangkat kedua panggilan itu, aku hanya membiarkan mereka bicara sendiri. Aku membisu sepanjang panggilan tersambung sampai mereka kesal dan menutup telepon.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang