11 Desember 2005

4.3K 1.2K 321
                                    

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentarI'd really appreciate it

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lagi-lagi aku terlempar ke lintasan waktu yang tidak tepat. Dan rasanya betul-betul tidak enak. Aku terus merasa kebingungan dan tersesat.

Waktu Kak Safir mengalami ini—melakukan astral projection, jalan-jalan tak tentu arah, hilang orientasi terhadap waktu—mudah saja bagiku untuk mengoceh: "Kakak yang itu bisa memelantingkan ruh dari badan, ahahahaha."

Aku masih bocah waktu itu, oke? Bocah sok tahu. Aku bangga karena bisa melihat apa yang tidak dilihat sebagian besar orang. Aku senang melihat reaksi Kak Nila saat dia menyadari aku lebih pro darinya. Aku hanya melihat, mendengar, dan merasakan samar-samar, tetapi aku tidak pernah mengalaminya langsung—pengalaman menjadi hantu, memutar waktu, berhadapan dengan Entitas-entitas seram. Jadi, mudah saja bagiku bertindak layaknya pahlawan kesiangan karena aku hanya penonton di balik layar sementara kakakku dan Kak Safir menjalani semuanya. Aku butuh pubertas menampar wajahku terlebih dulu sampai sadar bahwa sikapku waktu itu memalukan, kekanak-kanakan, dan—dalam keadaan tertentu—menakutkan.

Mama sendiri—yang melahirkanku dan Kak Nila—punya momen-momen di mana dia takut menatap mataku. Dia tidak tahu sekaligus tahu. Yah, dia tidak tahu secara pasti anak-anaknya ini kenapa atau terjangkit apa, tetapi mama tahu ada mistis tersendiri dalam silsilah keluarga, adiknya punya segunung pengalaman dengan hal-hal gaib, dan dirinya sendiri takut hantu.

"Jangan berulah, oke?" Mama mewanti-wantiku dan Kak Nila sore itu. Wajahnya cemas sekali seolah kami akan meledakkan perumahan dan mengundang banjir bandang jika dia memalingkan wajah sedetik saja. "Nanti Mama akan telepon tiap malam dan tiap pagi. Pokoknya, jangan merepotkan orang-orang baik ini."

Kurasa ini masih tahun 2005, hanya saja sudah 6 bulan setelah kejadian di pekan kesenian sekolahnya Kak Nila. Aku melirik kalender di bawah gambar bekantan yang dibingkai pigura bagus—Desember. Kurasa ini ruang tamu rumahnya Kak Magenta. Kalau diingat lagi, kami sedang dititipkan di sini untuk beberapa hari, sampai Mama selesai pelatihan kerja di luar kota.

Ibunya Kak Magenta—Bu Jingga—adalah guru SMP-nya Kak Nila. Secara keseluruhan, wanita itu orang baik, tetapi Kak Nila selalu terlihat risi berada di dekat gurunya, entah itu untuk alasan kecanggungan hubungan guru-murid atau karena Kak Nila terlalu sering mendapat kesan yang tidak enak terhadap mantan wali kelasnya itu—dipanggil ke kantor guru berulang kali, misal, juga kesalahan kecil di mana Kak Nila sempat tidak tahu bahwa gurunya tinggal di sebelah rumah selama bertahun-tahun.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang