8 Juni 2005

4.5K 1.3K 369
                                    

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentarI'd really appreciate it

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketika melihat pemandangan yang asing sekaligus familier, aku tidak langsung menyadarinya. Aku tahu aku tengah berada di sekolah, di SMA, tempatku sekolah selama hampir 2 tahun ini, tetapi saat ini aku berada di waktu yang salah.

Ini tahun 2005, saat kakakku masih siswi di sana.

Sering kali aku bermimpi dan menyadarinya—sekarang, rasanya hampir sama, hanya saja aku tidak sedang bermimpi. Aku betul-betul di sana walau tidak secara fisik. Aku tidak bergerak dengan normal karena aku tidak berkaki, bertangan, atau pun berbadan. Aku cuma ... sebuah kesadaran, melayang-layang tidak keruan, menyisir lapangan tengah yang retakan-retakannya belum banyak dan cat garis-garis batasannya masih lumayan baru.

Di ruang kelas yang berseberangan dengan gerbang sekolah, disekat lapangan upacara bendera, ada diriku yang berumur 8 tahun. Aku ingat sekarang ... ini saat pekan kesenian sekolah, di mana sekolah dibuka untuk umum dan siswa-siswi yang baru selesai ujian semester memamerkan hasil kesenian atau membuat stan-stan yang menjajakan suvenir buatan tangan, semacam pameran.

Seharusnya Kak Nila bolos acara sekolah itu, seperti yang biasa dilakukannya seumur hidupnya, tetapi dia diikat janji moril dengan ketua kelasnya—ada semacam balas budi di sana, di mana Kak Safir sudah melakukan terlalu banyak hal setahun yang lalu sampai Kak Nila tidak berani melanggar janjinya untuk ikut kegiatan sekolah di akhir semester itu. Maka, dia betul-betul ikut kegiatan dan sibuk menyiapkan ini-itu seminggu sebelumnya, membawa pulang hasil kerajinan tangan setengah jadi berubah boneka-boneka kain perca dan gantungan kunci dari clay.

Di hari pertama pekan kesenian dibuka, aku merengek sepagian ingin datang ke sekolahnya, karena pekan itu memang dibuka untuk umum, tetapi Kak Nila bersikeras tidak mau mengajakku—malu, katanya, mesti petantang petenteng membawaku.

Mama bekerja, Paman Tam sudah tidak ada. Aku tidak kehabisan akal; aku lari ke rumah sebelah, menemui (satu-satunya) sahabat karib/teman sebangku kakakku sekaligus (satu-satunya) tetangga kami yang peduli—Kak Magenta. Dengan senang hati Kak Magenta bersedia membawaku ke sekolahnya. Aku tahu Kak Magenta bakal menjadikanku alasan untuk tidak terlibat kegiatan: "Aku mesti jaga adik kerabat, nih, jadi tidak bisa ngapa-ngapain,"—karena dia dan Kak Nila kelakuannya bak pinang dibelah dua, tetapi aku tidak peduli. Yang penting aku bisa ikut.

Diriku yang masih 8 tahun membawa tas selempang kebesaran, digandeng erat-erat oleh Kak Magenta, dipelototi Kak Nila dari sudut matanya.

"Jangan jauh-jauh dariku, Grey." Kak Magenta memperingatkanku. "Nanti bisa repot kalau aku ketahuan menganggur."

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang