Semacam Prolog

14.7K 2.1K 836
                                    

Aku diserang déjà vu.

Pria itu bertahan di atas tungkainya yang kurus dan ketar-ketir, tangannya erat di pagar pembatas jembatan. Tengah malam begini, aku hampir berpikiran, Arwah siapa lagi ini? Gentayangan tidak tahu jam.

Lalu kusadari dia masih hidup. Helaian rambut putihnya menyembul sedikit dari kupluknya yang kelabu. Gigi depannya sudah habis, walau barangkali ada tersisa beberapa buah gigi belakang karena kudengar suaranya menggeligis. Air mata mengalir sampai ke ujung hidungnya yang bengkok.

Aku menghampirinya perlahan, tetapi dengan langkah yang berbunyi agar dia sadar ada orang di belakangnya. Sambil menyandar pada pagar pembatas, aku bertanya, "Butuh dorongan, Kek?"

"Kurang ajar," cibirnya.

Aku menatap ke langit dengan syahdu. Ah ... purnama. Memang fase paling sakti untuk meracuni jiwa manusia.

"Aku teringat seorang wanita yang dulu juga berada di tempat ini, pada posisi yang serupa denganmu, Kek." Bedanya, kakek ini sama sekali tak kukenal, sedangkan aku mengenal wanita itu seumur hidupku karena dia yang melahirkanku.

Pada masa lampau, saat pandangan mataku masih pirau, dan yang kulakukan cuma menggalau dalam kain bedongan, mama mencoba melompat dari atas jembatan. Ada kakak perempuanku di sisinya. Saat mama menyerahkan buntelan kain berisi raga fanaku pada Kak Nila, aku menangis kejer, yang kurang lebih bermakna, Hiiiiii!

Kakakku masih 7 tahun, yang artinya dia menggendongku seperti menenteng boneka babinya. Aku bisa jatuh menggelinding dari lengannya ke aspal jalan kapan saja.

Lalu, ketika mama menyusup melewati pagar pembatas jembatan sambil membawaku dan kakak perempuanku serta, saat itulah rengekanku berubah makna: Aku baru 4 minggu di sini, dan sudah disuruh menghadap sang Pencipta?! Buat apa kau berdarah-darah memelantingkanku ke dunia, Ma, kalau ujung-ujungnya aku bakal dilempar juga ke aliran sungai nan dingin di tengah malam cuma dalam kurun waktu 30 hari?!

Kau barangkali bertanya-tanya mutasi macam apa yang melandaku sampai-sampai aku bisa memikirkan itu semua saat masih bayi. Jadi, biar aku balik bertanya: memang kau ingat apa yang kau pikirkan saat masih bayi? Kau mengingat apa yang kau lihat, dengar, dan rasakan saat masih belum bisa bicara? Mengapa begitu yakin bahwa pikiran-pikiran di atas tidak mungkin menyambangi otak bayi berumur sebulan?

Nah, sesungguhnya aku juga tidak yakin apa aku benar-benar memikirkan itu semua.

Aku mengingat—ya. Dengan sangat jelas. Saat mataku terbuka, saat mengambil langkah pertama, saat mengeluarkan kata pertama yang berupa, "U-cing!" karena ada kucing hutan raksasa di atas loteng rumah kami yang tak bisa dilihat oleh mama maupun kakakku.

Namun, semua pemikiran di atas, tentang aku yang takut digendong kakakku atau takut mamaku bunuh diri—tidak begitu persisnya. Aku hanya ingat saat itu merasa resah. Aku tahu mamaku hendak melompat untuk menyusul ayah. Dan meski belum memahami alasannya, aku tahu itu hal yang buruk untuk dilakukan, terutama kalau dia ajak-ajak.

Semacam naluri—insting tertua dalam diri manusia di mana kau merasakan tanda bahaya tanpa mampu menjelaskan apa yang sebenarnya bakal kau alami. Karena saat itu aku belum punya bekal huruf abjad lengkap buat diucapkan, aku hanya menjeritkan, "Aaaaaaa!" dengan air mata.

Setelah aku cukup tua untuk menyusun kalimatku sendiri, dan memahami sistem dunia tempatku berada, dialog-dialog itu tersusun sendiri setiap kali aku mengenangnya:

Jangan biarkan kakakku menggendongku—dia masih 7 tahun! Dia bakal menjatuhkanku seperti boneka babinya!

Ma, jangan melompat! Atau setidaknya, jangan ajak-ajak aku!

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang