18 Januari 2014

4.2K 1.1K 489
                                    

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentarI'd really appreciate it

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku jadi paham kenapa Kak Safir benci melakukan perjalanan astral.

Pertama, pemandangannya tidak enak, traumatis, dan membekas. Segalanya dingin dan panas—rasanya tidak keruan. Tulang-tulangku menggigil dan kulitku membeku, tetapi bagian dalam tubuhku panas seperti terbakar. Pendengaranku pun kacau dibuatnya—hening, tidak ada gelombang suara kecil yang sewajarnya ditangkap telinga sesepi apa pun, bahkan deru angin, tetapi sesekali terdengar jeritan, percakapan yang tumpang-tindih, tawa, dan tangisan.

Kedua, alam gaib amat sangat menjebak—aku nyaris tidak bisa kembali ke dunia fana. Aku lupa waktu. Aku bisa saja menghabiskan seumur hidupku berdiri di sana, memelototi doppelgänger diriku yang tersenyum kosong.

Maka, saat aku berhasil menyeret diri kembali ke rumah Wilis, dan manifestasiku kembali terbentuk, aku hampir menangis di teras mereka. Aku mungkin bakal duduk memeluk lutut, menggoyangkan badan maju-mundur, tetapi Kinantan sedang menongkrong di atas balkon dengan mata tertuju ke arahku—dia menantiku untuk berbuat bodoh. Aku tidak punya pilihan selain berdiri tegap dan menerobos masuk.

"Olive?" Aku berteriak dan mendatangi kamarnya. "Rumah Jerau ada di dekat bandara—hei, mana dia?"

Hanya ada Denim di kamar itu, sedang menggores kaki meja nakas dengan cakarnya yang belum sepenuhnya tumbuh. Tas-tas yang bertumpukan di kaki ranjangnya tidak ada.

Aku meluncur ke balkon, di mana Kinantan duduk memangku tangan dan memasang tampang bosan.

"Ck, bagus sekali," ujarnya malas. "Kau sudah mulai beradaptasi."

"Mana Olive?"

"Entahlah—ke rumahmu barangkali."

Aku menoleh ke sebelah. Wilis masih ada, berbaju kaus putih dan celana selutut, tiduran di atas ranjangnya. Dia tengah memainkan ponselnya. Telinganya tersumpal headset. Bibirnya komat-kamit, barangkali mengikuti lagu yang tengah didengarnya.

"Tapi, Wilis masih ... dengan siapa Olive pergi?"

"Entah, ya. Mungkin dengan salah satu temannya."

"Kau terus-terusan berkata entah, padahal kau tahu semuanya!"

"Entahlah, aku cuma sebal lihat tampangmu ...." Si gadis hantu memutar bola matanya, menghindari tatapan tajamku. "Cewek itu mencarimu sejak kemarin. Dia bertanya pada kakaknya kapan mereka bakal mengembalikan barang-barangmu, dan katanya hantumu hilang—tapi cowok bodoh itu tidak mau menggubrisnya. Lalu, tadi dia menghubungi beberapa teman, cari tebengan atau apalah. Tampaknya teman-temannya sibuk dan sebagainya, sampai akhirnya ada yang mau. Dia pergi sekitar ... yah dia baru saja pergi waktu kau muncul di teras."

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang