4 Januari 2014

5.1K 1.4K 492
                                    

Warning:

Cerita ini diikutsertakan event MWM oleh NPC2301
Dengan target tamat dalam sebulan

Akan ada banyak typo, plot hole, dan segala macam anu
karena dikerjakan tanpa proses semedi lebih dulu

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;
Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentar
I'd really appreciate it

Mohon maap jika hasilnya kurang memuaskan ;-;Jika ingin bantu razia typo dan anu-anu, silakan komentarI'd really appreciate it

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah lewat tengah malam. Bulan tertutup awan, suhu turun drastis, tetapi tubuhku berkeringat karena menyekop dan bajuku bau tanah. Denim si kucing kecil berusaha mempertahankan posisinya di atas kepalaku, gemetaran dan syok gara-gara tanah ambruk.

Alih-alih melanjutkan pekerjaan, Wilis dan adiknya malah berdebat.

"Nah, bagaimana? Betul, 'kan?" Wilis menuntut dengan suara bergetar. "Sudah percaya, 'kan, Grey betulan dukun?"

"Percaya!" Olive menjerit histeris, kakinya menendang-nendang, tangannya melingkar erat pada leher Wilis. Matanya berkaca-kaca, terpaku ke kumpulan tulang. "Percaya—aku percaya! Singkirkan benda-benda itu dari bawah kakiku!"

"Lubang ini sempit, dan kita bertiga!" gerung Wilis seraya berusaha melepaskan diri dari jeratan adiknya. "Makanya, kau naik!"

"Aku tidak mau memijak di itu!"

Aku menceletuk, "Sejak tadi kau duduk di atas nisannya."

Olive terisak-isak, "Aku, 'kan, tidak tahu ada orang mati di bawah! Tapi sekarang tulangnya keluar—aku tidak mau menyentuhnya!"

"Mau bagaimana lagi?!" bentak Wilis. "Aku juga telanjur menginjaknya! Grey juga menginjaknya! Sudah—langkahi saja! Kau tidak punya pilihan!"

"Tidak mau! Lakukan sesuatu!"

"Lakukan apa? Terbang?"

"Gendong aku ke atas!"

"Gila aja! Kau berat!"

Denim bergerak dari atas kepalaku, meloncati longsoran, mengendus-endus sisa tulang yang terkubur dengan penasaran, sebelum kemudian melompat ke atas.

Aku menggulung lengan kemeja yang sempat melorot, mengusap keringat di wajah dengan secuil bagian punggung tangan yang belum bercelemot tanah. Menjatuhkan sekop, aku bergerak maju dan menyandar ke depan dengan satu tangan, membelakangi Olive dan Wilis. Kutepuk-tepuk bahuku. "Olive, injak sini. Naik ke atas."

Hening sesaat. Lalu, kudengar Olive mengisak, "Kalau begini aku mau diadopsi Grey saja!"

Wilis menyumpah, yang membuat Olive malah sesenggukan lebih keras.

"Tapi—tapi—tidak jadi! Kalau diadopsi jadi adik, nanti tidak bisa menikah—"

"Olive!" geramku.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang