Wanita itu meremas kuat kertas berisi informasi yang mampu mengguncang hidupnya.
Diva menunduk ketika air mata membasahi pipinya "Hiks.." Diva merasakan tubuhnya lemas, ia berjongkok memeluk lulutnya, tubuhnya bergetar.
Miris. Ada kah kata yang lebih pantas untuk kehidupannya. Tak ada yang tau apa yg akan terjadi di hari esok.. Rezeki, jodoh bahkan maut pun tak ada seorang pun yang tau.. Semua sudah tertulis jelas di Lauh Mahfudz yang isi ceritanya sekarang masih menjadi rahasia Allah.. Jika itu saja sudah sangat jelas. Harusnya, tak ada lagi alasan untuk ia putus asa. Namun, gadis berusia 20 tahun itu hanya manusia biasa yang kadang masih lemah, ketika dibenturkan dengan suatu masalah.
"Berdasarkan dari hasil pemeriksaan anda mengidap Penyakit ALS (Amyotrophic lateral sclerosis). Kondisi ini terjadi saat sistem saraf di mana sel-sel tertentu (neuron) di dalam otak dan sumsum tulang mati secara perlahan."
Kata-kata itu berputar bagai kaset rusak di kepalanya.
"Kemungkinan besar anda akan mengalami kelumpuhan"
Deg
Adakah kenyataan yang lebih menyakitkan. Diva tersenyum sinis, Perkataan dokter mampu membuat ia terdiam. Jika ia lumpuh, bagaimana dengan suaminya?. Berbagai spekulasi bermunculan, membuat ia semakin sakit. Ia tak mau semakin menyusahkan Deva, ia ingin Deva bahagia dan bagaimana Deva bisa bahagia jika bersamanya. Diva meremas dadanya berharap rasa sakit itu hilang "Hiks, Umi.. Abi"
Ia sadar bahwa akhir-akhir ini kondisi badannya melemah, dan ini jawaban nya "Hiks.."
****
"Div, kenapa si? lesu banget" tanya Ara melihat Diva dengan wajah kusut, mata sembab dan terlihat lingkaran hitam di bawah matanya. Mereka berjalan di lorong kampus.
Langkah Ara terhenti melihat sahabatnya terdiam, kini Diva menatap nya lekat. "Diva.." Ucap Ara pelan menepuk bahu sahabat nya.
Diva menunduk, bahunya bergetar.
Ara menghela nafas berat, dari awal ia bertemu dengan Diva. Ia yakin bahwa ada yang tidak beres. Segera ia menuntun langkah mereka menuju bangku taman.
"Ada apa Div? " ia menatap lekat gadis yang masih menunduk di hadapannya.
"Bang Dev ga jahatin kamu kan?" tanya Ara panik melihat sahabatnya yang tiba-tiba nangis.
Diva menggeleng, menarik nafas,
Ia tersenyum menatap manik dihadapnya "Diva cuma lagi kangen Ka Dev" ucapnya menyengir.Reflek Ara menoyor kepala Diva "Yee Bambang! Kirain kenapa, lebay banget pake segala nangis-nangis, bikin orang khawatir ae"
"Cie Khawatir sama kakak ipar" Ucap Diva menoel pipi sahabatnya yang terlihat kesal.
"Au ah ga jelas" Ara bangkit, pergi menuju kelasnya.
Diva kamu berbohong, batin Ara.
Diva harus tau bahwa yang namanya Ara Putri Adhitama tak mudah untuk di bohongi. Untuk saat ini Ara akan mengikuti permainannya.
Diva terkekeh menatap dalam punggung sahabatnya yang semakin menjauh, ia rasa seperti ini saja sudah cukup.
Kebisingan kelas tak membuat Diva terganggu. Ia sibuk dengan pikiran nya, berusaha untuk ikhlas dengan sang takdir, berusaha berdamai dengan kenyataan. Sampai dosen masuk tak juga membuyarkan lamunannya. Tersadar bahwa kelas sepi, ia mengedarkan pandangannya Sampai ia melihat ke depan dan
Deg
Mata mereka bertubruk, Diva merutuki kenapa mereka bertemu dalam keadaan emosi Diva yang tidak stabil.
****
Hati nya berbunga-bunga memasuki kelas di mana ia akan mengajar, senyum manis itu tak pernah luntur dari wajah tampannya.
Mengedarkan pandangan mencari sosok yang selama 3 hari tak bertemu karena ia harus menjalankan sebuah amanah dari tempat ia mengajar. Gadis nya duduk di meja belakang dengan menundukkan kepala, selama ia mengajar Diva masih menunuduk, bahkan ia sempat mengira bahwa Diva tertidur. Namun saat 15 menit terakhir, Diva mengedarkan pandangannya dan tatapan mereka bertemu. Ia melihat raut wajah kaget istrinya itu. Deva terkekeh, ia sangat merindukan istri nya itu.
"Baik teman-teman kita akhiri kelas sampai disini"
Deva membereskan bukunya dan berkata "Untuk Diva Aiza Firmansyah, Saya tunggu di ruangan saya"
Diva menghembuskan nafasnya kasar, setelah ini ia harus menyiapkan mentalnya "Baik pak"
Tok tok tok
"Masuk!" setelah mendengar sahutan. Diva memutar gagang pintu itu, memasuki ruangan dosen sekaligus suaminya.
"Assalamualaikum Ka" ucap Diva menyium tangan suaminya.
"Waalaikumsalam" balas Deva mengusap pucuk kepala istrinya.
"Sebentar ya Div, Kakak beresin ini dulu. Kamu duduk di sofa aja" Diva mengangguk, melangkah ke sofa, duduk menselonjorkan kakinya. Mengeluarkan ponsel guna mengalihkan pikirnya yang kacau.
"Ekhem" deheman seorang laki-laki yang berdiri menjulang di hadapannya mengambil alih atensi Diva. Menaikan alisnya sebelas tanda ia bertanya.
Deva merentangkah tangannya. Diva terkekeh lucu, seolah paham ia beringsut mendekati Deva dan langsung memeluknya.
"Kangen" Ucap Deva mengeratkan pelukannya.
"Bodo" kata Diva cuek.
"Bodo ko, meluknya kenceng banget Bu" Ucap Deva tertawa, ia mencium pelipis gadis nya dengan sayang.
Deva melepas pelukannya, namun tak membiarkan Diva menjauh. Ia pandangi wajah cantik dihadapannya dengan balutan hijab berwarna hitam.
Diva memejamkam matanya merasakan usapan lembut suaminya.
"Kamu gak tidur?" Deva mengusap bawah mata yang tampak menghitam.
Diva menelusupkan kepalanya ke dalam dada bidang itu, berharap Deva tak bisa membaca raut wajahnya.
"Tidur ko" Kata Diva cepat.
"Tapi-" ucapan Deva terpotong oleh ucapannya
"Udah diem! Katanya kangen" ia tak mau Deva semakin mengintrogasinya. Diva belum siap!