Lihatlah disana ada yang hancur tak berbentuk
Magic hours🎶
****
Deva tetap melajukan mobil itu dengan cepat, jemarinya mencengkram setir dengan kuat. Ia Mengerang frustrasi. Menggertakkan giginya sampai bergemulutuk.
Mobil itu berhenti dengan keras sampai bannya berdecit. Lelaki itu memukul setir berkali-kali melupakan amarahnya.
"Arrghhh" teriaknya.
Deva menyadarkan kepalanya pada setir, bahunya bergetar. Sosok yang selama ini tegar terganti menjadi sosok rapuh.
Saat itu ia membuka laci lemari untuk mencari jam tangannya, pandangan Deva terpaku pada amplop putih dengan logo rumah sakit dan terdapat nama istrinya yang terselip diantara map-map. Ia ambil, di buka amplop itu dan membaca isi suratnya. Ia mencerna setiap baris kalimat yang terdapat di dalamnya. Tak lama ada suara getaran Handphone, namun bukan miliknya, melainkan milik Diva yang tertinggal di atas nakas.
Mba Amel is calling
Segera ia geser tombol warna hijau itu. Ia tempelkan ponsel itu di samping telinganya.
"Assalamualaikum, Diva maaf seperti nya hari ini kita ga bisa bertemu"
"jadwal cek up nya bisa kita atur lain kali" ucap Amel tanpa jeda, seperti orang terburu-buru.
"Kalo gtu mba tutup ya telpon nya, Ass-" ketika ia
hendak mengakhiri panggilannya, ia mendengar suara orang di sebrang telpon. Yang membuatnya tertegun adalah suara lelaki. Bukankah ia menelepon Diva-pasiennya."Tunggu-" jegah Lelaki itu.
"Maksud kamu apa Amel? Cek up?" tanya Deva penasaran.
"akh-ini Deva? Hmm-oh itu, cek up bulanan. Iya cek up bulanan biasa ko Dev" sial bahkan Amel tak tau apa yang ia ucapkan.
"Bohong?!" ucap Deva dingin.
"Bisa kamu jelasin, saya menemukan surat hasil diagnosa Diva!"
Amel yang di desa seperti itu tak bisa berbuat apa-apa selain jujur tentang kondisi Diva saat ini.
"Kamu anggap saya apa Diva.." ucapnya parau.
Setelah menenangkan dirinya, ia kembali menjalankan mobil nya menuju apartemen.
Brakk
Ia membuka pintu apartment itu dengan kasar. Amarah itu masih menyelimutinya.
Balkon merupakan pilihan terbaik untuk menenangkan diri, menatap nyalang pada langit yang kian menggelap. Ia mengusap wajahnya kasar.
Deva tersenyum kecut seolah tak percaya tentang apa yang terjadi saat ini.
pikirannya kacau.
"Kalo nanti Diva pergi duluan, Ka Dev bakal setia ga? Kayak eyang habibie"
Hatinya kian teriris ketika sekelebat bayangan muncul di kepalanya. Kini rasa takut lebih dominan di dalam dirinya. Takut kehilangan..
Bodoh! Apa gunanya ia sebagai suami, jika masalah sebesar ini ia tak tahu.
****
Diva meringkuk seperti janin dalam kandungan. Sejak tadi air matanya tak kunjung surut. Ini sudah jam 10 malam tapi suaminya belum juga pulang. Ia khawatir apalagi Deva pergi dalam keadaan emosi.
Isakan kecil itu kembali keluar dari bibirnya. Ia merindukan pelukan hangat suaminya.
Allah, lindungi ia di setiap langkahnya, lirih Diva.
Di Tempat lain, lelaki berusia 25 tahun itu terbangun dari tidurnya. Ia melihat jam yang menempel di dinding ternyata sudah jam 1 dini hari, ia ketiduran. Meregangkan ototnya yang terasa kaku, dengan enggan ia bangkit menuju kamar mandi, membasuh mukanya. Semarah apapun Deva, ia harus pulang karena semua pekerjaan ada di rumahnya. Ia tak bisa lari dari tanggung jawab.
Lampu rumah sudah padam semua, menandakan penghuninya sudah terlelap. Deva jalan perlahan memasuki kamarnya.
Diva yang memang belum bisa tidur mendengar suara pintu terbuka, seketika rasa takut menyusup di dadanya. Ia takut yang masuk adalah seorang penjahat. Saat ini posisinya memunggungi pintu, namun ketika ia mendengar kemericik air dari kamar mandi. Rasa lega menghampiri nya, ia tahu bahwa itu Deva.
Tak lama terdengar pintu kamar mandi terbuka, ia bisa mencium wangi khas Deva-suaminya.
Selama 10 menit Diva tak merasakan pergerakan ranjang di sebelah nya. Perlahan ia membalikkan posisinya, Hati Diva tersayat melihat suaminya yang memilih tidur di sofa. Air mata itu kembali luruh di kedua pipinya.
Diva bangkit dari posisinya, dengan hati-hati ia mendekati Deva yang terpejam. Diva duduk bersila menghadap wajah suaminya. Mengusap kasar air matanya yang luruh. Ia pandangi wajah sendu Deva. Tangannya terulur mengusap setiap inci wajah tampan suaminya.
Diva tersenyum getir mengusap pelan kelopak mata itu. Mata ini yang tadi menatap nya tajam, akankah ia kembali mendapat tatapan lembut dari sang pemilik. Kemudian ia meraba bibir merah alami milik suaminya. Ia menggigit keras bibirnya. Menahan Isakan. Mengingat bibir ini yang tadi mengeluarkan bentakan dan kata-kata pedas membuatnya sakit. Isakan kecil itu keluar dari bibirnya yang bergetar. Cukup!
Diva tak bisa lagi menahan rasa perih ini, seakan torehan luka merongrong raganya. Ia menunduk di sisi Deva. Lagi dan lagi ia menangis tergugu. Tanpa Diva sadari bahwa selama itu Deva tahu apa yang ia lakukan. Deva yang memang belum tidur dan memandangi punggung ringkih istrinya. Ia memilih berbaring di sofa dibandingkan di samping istrinya. Ketika ia melihat pergerakan punggung itu, ia pura-pura memejamkan mata. Ia tahu bahwa ada orang yang mendekati nya. Ia merasakan usapan pada wajahnya dan ia mendengar Isakan pilu istrinya. Sekuat tenaga ia menahan untuk tak merengkuh tubuh ringkih Diva. Sepersekian detik ia merasakan benda kenyal menyentuh kening nya dan setetes air mata jatuh mengenai pipinya. Mendadak kelopak mata Deva terbuka dan melihat punggung istrinya menjauh keluar kamar.
Pertahan Diva runtuh, ia memeluk kedua lututnya. Tubuhnya bergetar seiring Isakan yang terus keluar dari bibirnya.
"Hiks.." Diva Mencengkram dadanya, berusaha menghilangkan rasa pedih dan sakit yang menyelimutinya.
Dua anak manusia itu Meraung karna torehan luka.