Kicauan burung seolah menggambarkan pagi yang ceria. Namun tidak untuk gadis berusia 20 tahun itu. Membuka kelopak mata, bangun dari tempat peraduannya. Mengedarkan pandangan kesekeliling ia sudah tak menemukan keberadaan suaminya.
Melangkah keluar kamar berharap bisa bertemu dengan sang kekasih namun harapan itu sirna ketika ia hanya melihat gadis bergamis peach yang sedang sibuk memasak.
Ara yang merasakan kehadiran seseorang, membalikkan tubuhnya dan melihat sang kakak ipar yang berdiri tak jauh darinya. Ia mematikan kompor berjalan menghampiri Diva. Ia menghela nafas panjang melihat penampilan sahabatnya yang jauh dari kata baik-baik saja. Wajahnya pucat, rambutnya yang acak-acakan di tambah mata sembab dan lingkaran hitam yang terlihat jelas di bawah matanya. Persis seperti mayat hidup.
"Bang Deva udah berangkat dari tadi pagi.." kata Ara menjawab kerisauannya.
"Dia menghindar.." lirih Diva, pandangannya kosong.
Ara mengusap punggung tangan sahabatnya "ia masih butuh waktu.." katanya pelan mencoba memberi pemahaman.
"Sebaiknya hari ini kamu ga usah ke kampus, wajahmu pucat" ucap Ara khawatir.
Dengan cepat Diva menggeleng "Diva siap-siap dulu" dengan wajah sayu dan langkah gontai ia kembali menuju kamarnya. Jika Diva tak pergi ke kampus, dimana lagi ia harus menemui suaminya. Ia tak memperdulikan rasa pening yang menghampirinya.
****
De javu
Mereka di pertemukan di situasi seperti ini, Diva tersenyum masam, bedanya dulu lelaki itu menatapnya penuh rindu, namun sekarang meliriknya saja ia enggan. Wajah itu diselimuti aura dingin.
"Baik teman-teman kita akhir kelas sampai disini" ia tersenyum sekenanya "Untuk tugasnya, dikumpulkan pada penanggung jawab kelas ini dan saya tunggu setelah jam makan siang di ruangan" segera Deva keluar kelas tanpa mau repot-repot melirik wajah istrinya.
Semua orang sibuk mengumpulkan buku yang akan di berikan kepada sang dosen, begitupun Diva. Ia melangkah menghampiri pria bernama sandy-penanggung jawab kelasnya.
"San, boleh ga kalo saya aja yang ngumpulin tugasnya" Kata Diva bernegosiasi, ini bisa dijadikan kesempatan untuk bertemu dengan suaminya.
"Tapi kan tadi pak Deva nyuruh nya ke gue" pria itu terdiam "Tapi, emang si gue harus buru-buru cabut" ia menggaruk tengkuk nya yang tak gatal.
Diva yang melihat itu tersenyum "Yaudah gapapa, sekalian. Soalnya saya juga ada urusan sama pak Deva"
"Oklah" kata pria itu menyerahkan buku yang sudah terkumpul padanya.
Tok tok tok
Masuk!
Tangannya mendorong pelan pintu itu. Saat sudah berada di dalam, ia kikuk apa yang harus ia lakukan melihat Deva yang sibuk dengan berkasnya.
Deva mengalihkan pandangannya ketika mendengar deheman seseorang. Tatapannya datar ketika melihat gadis yang berdiri di hadapannya.
Sejenak ia berdehem sebelum berkata "silahkan di taro di meja" ucapnya formal, dan fokus kembali pada berkas yang ia pegang
Diva tersenyum miring tak ada lagi sambutan hangat. Ia taro buku itu sesuai yang di perintahkan. Namun kaki nya enggan beranjak dari tempat.
Deva mengernyit bingung, tak mendengar suara pintu dibuka, ia menghela nafasnya panjang. Sadar bahwa istrinya masih ada diruangannya.
"Silahkan jika tidak ada kepentingan lagi, mohon untuk keluar" kata Deva dingin tanpa menatap Diva.
Hati Diva berdesir perih.
"Ka-k.." suara itu terdengar seperti bisikan, dan Deva tak membiarkan gadis itu menyelesaikan kalimatnya.
"Ini kampus" ucap Deva meusuk tanpa ekspresi.
Mata Diva berkaca-kaca melihat penolakan terang-terangan dari suaminya itu. Ia menelan ludahnya, mencoba bersikap tenang di tengah gemuruh hatinya.
"Diva sadar apa yang terjadi kemaren, sepenuhnya salah Diva... " ucapnya tersendat.
Ia terdiam
"Ka Deva sangat, sangat berarti buat Diva.." katanya mulai bergetar.
"Di-va" ia tak sanggup untuk meneruskan ucapannya, bahunya bergetar.
Deva terdiam seribu bahasa, jujur hatinya berdesir ngilu melihat setiap air mata istrinya. Namun, ia masih kecewa, tak mudah baginya untuk bersikap seperti biasa.
Tok tok tok
Ketuka pintu dari luar membuyarkan ketegangan diantara mereka
"Masuk!"
Diva dengan cepat mengusap air matanya, ketika sosok laki-laki yang tadi mengetuk pintu itu masuk.
Ia mengangguk sopan ke arah Deva "Maaf pak ganggu, Saya disuruh menyampaikan bahwa bapak ditunggu diruang rektor" ucapnya tersenyum.
Deva mengangguk "Baiklah, terimakasih" setelah mendapat jawaban dari sang dosen, pria itu meninggalkan ruangan.
"Mohon maaf, saya harus segera pergi" kata Deva lantas membereskan mejanya.
Diva menghela nafas berat, ia paham Deva masih enggan untuk bertemu dengannya. Dengan gontai ia keluar dari ruangan itu.
****
"Bagaimana pak Deva?" tanya rektor itu menanyakan atas keputusan apa yang di ambil oleh dosen muda itu.
"Saya bersedia mengikuti acara itu pak" jawab Deva tegas dan mantap.
Awalnya ia akan menolak acara seminar yang akan dilaksanakan lusa mendatang. Namun, keputusannya berubah melihat kondisi sekarang. Bukan, ia bukan lari dari masalah, ia hanya butuh waktu untuk bisa menerima semuanya. Dirasa ini waktu yang pas untuk memikirkan segalanya.