"Saya akan mempertimbangkannya lagi Pak" Ucap Deva kepada pria yang menjabat sebagai rektor dikampus nya itu.
Hari ini ia pulang lebih dulu, karena Deva hanya mengajar di dua kelas saja.
Sesampainya di rumah, ia melangkah menuju kamar. Merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia memikirkan kata-kata rektor tadi, Banyak pertimbangan yang harus ia fikiran dalam mengambil keputusan ini. Terlebih ia akan keluar kota, kembali meninggalkan istrinya.
Di lain sisi kedua anak manusia berjalan, sesekali mereka melempar canda dan tawa.
"Kamu jadi ketemu mba Amel Di?" tanya Ara kepada sahabatnya.
"Jadi, cuma harus pulang dulu. Hp Diva ketinggalan"
"Yaudah, nanti Ara anter pulang dulu. Nanti di jemput lagi"
"Ok"
Semenjak Ara dan Umi Farah mengetahui penyakitnya. Mereka lebih over protektif sering mendampingi Diva untuk berobat atau hanya sekedar cek up.
Diva tersenyum melihat mobil suaminya yang sudah terparkir. Ia Melangkah memasuki rumah bergaya minimalist itu.
"Assalamualaikum" salam Diva ketika memasuki rumahnya.
Senyum itu kian mengembang ketika mendapati Deva yang sedang duduk di ruang tamu tak jauh dari tempatnya berpijak.
Ia segera mendekati suaminya. Deva yang sedari tadi menunduk, mengangkat kepalanya ketika sadar ada sepasang kaki di hadapan nya.
Senyum Diva memudar ketika manik lelaki itu menatapnya tajam.
"Apa ini?!" ucap Deva penuh penekanan menatap lekat istrinya.
Nafas Diva tercekat, melihat kertas berlogo rumah sakit itu berada di tangan Deva. Ia menutup matanya sejenak. Berusaha menghalau rasa gugup yang menyelimuti benaknya. Sesaat kelopak mata itu kembali terbuka, tatapan mereka bertemu. Hati Diva berdesir perih melihat sorot kekecewaan itu.
Ia sadar bahwa setelah ini semuanya tak akan baik-baik saja.
Deva menaikkan sebelah alisnya begitu tidak mendapat jawaban dari istrinya "Kenapa diem" katanya dengan nada ketus.
"Saya paling benci orang yang berbohong" Deva mendengus tak suka.
Deg
Saya?
Ucapan itu seolah menusuk jantung Diva, dengan suara bergetar ia berkata "Maaf.."
"Basi!"
Diva menelan ludahnya, mendengar ucapan sarkatis Deva.
Lelaki itu tersenyum ironi "Selama ini kamu anggap saya apa?!"
"Hal sebesar ini kamu sembunyikan!" ujar Deva sambil meremas rambutnya.
Bibir Diva sudah bergetar hebat, ingin menangis. "D-diva bisa jelasin..."
Deva membuang mukanya ke arah jendela, enggan melihat wajah sendu istrinya. Diva yang melihat itu semakin merasakan sesak luar biasa.
Diva mengusap air mata yang entah sejak kapan sudah menetes "D-diva cuma ga mau semakin merepotkan..." ia menggigit bibirnya, menahan isakan.
Deva tertawa sumbang "Bodoh!" manik matanya berkaca-kaca.
"SEBENARNYA APA YANG ADA DI OTAK KAMU DIVA!" intonasi yang di keluarkan Deva begitu tinggi. Hingga mata Diva mengerjap berulang kali. Selama ini Diva tak pernah mendengar suaminya membentak.
Deru nafas Deva saling kejar-mengejar. Ketegangan berpendar di udara, begitu mencekam di sekeliling mereka.
"Hiks..." Diva menunduk tak kuat melihat wajah Deva yang begitu murka.
Tubuhnya bergetar, hati nya terluka mendapat bentakan Deva, sekuat tenaga ia tahan rasa sakit yang semakin menghujamnya, bagaimana pun ini salahnya. Wajar jika Deva marah bahkan kecewa padanya.
Anak dan ibu itu tertegun melihat apa yang terjadi di hadapannya. Mereka berjalan mendekat dua orang yang sedang bersitegang itu.
"Diva.." lirih Ara mengusap pundak Diva yang bergetar. Diva yang merasakan usapan itu menoleh, ia terkejut melihat Ara yang ada dihadapannya. Segera ia memeluk nya.
"Abang.. Ada apa ini?" tanya Umi Farah lembut mengusap tangan anak lelaki nya.
Deva menyodorkan surat yang sedari tadi ia pegang, Umi Farah yang melihat isi surat itu menghela nafas berat.
Deva yang melihat respon ibunya biasa saja, mengernyit curiga, rahang nya mengeras. Deva Mengepalkan kedua tangannya, menekan segala emosi yang bergemuruh "Apa disini cuma Deva aja ya ga tau?" ia tersenyum pedih.
"Bang.." lirih Ara.
"Dengan ini Saya tau, seberapa penting saya dikehidupan kamu" desis Deva dengan nada sinis di setiap katanya.
Hati Diva mencelos, Guratan kekecewaan terlihat jelas dari raut wajah Deva, mata itu mengisyaratkan kesakitan.
Deva membuang kertas yang mengacaukan hidupnya, ia melangkah penuh amarah keluar rumah itu.
Diva beringsut mendekati Deva dan langsung mendekap nya dari belakang.
"Hiks.. Jangan tinggalin Diva.." Isakan tangis nya enggan berhenti. Dadanya sesak seolah ada yang mencabik-cabiknya.
"Ma-afin Diva.. Hiks.." nafas Diva tersendat-sendat. Ia mengeratkan pelukannya.
Deva merasakan kemeja belakangnya basah, ia menarik nafasnya kasar.
Diva menggeleng, mengeratkan pelukan nya ketika Deva berusaha melepas tangan yang melingkar pada tubuhnya.
Bagaimana pun kekuatan lelaki lebih dominan, Deva melepaskan tangan Diva tanpa menyakiti nya. Tanpa berbalik ia semakin mantap melangkah ke depan.
Tubuh Diva luruh, ia menangis tergugu "Hiks.. Ka Deva.." ia menatap nanar punggung suaminya.
Tahukan Diva bukan hanya ia yang terluka, sebagai sosok suami, ego nya pun terluka. Ia Menjalankan mobil dengan kecepatan penuh, ia keluar dari rumah yang memberinya luka.
Umi Farah yang tak tega melihat menantu nya bersimpuh dilantai, memeluk nya erat.
"Umi.. Ka Deva.." kata Diva di sela tangisannya.
Mata Ara memanas, ia tak pernah melihat sahabatnya sekacau ini. Ara memalingkan mukanya, mengusap air mata yang tiba-tiba mengalir. Sungguh ia pun tak tega melihat dua anak manusia yang sama-sama terluka.
"Biarkan ia pergi, Deva butuh waktu sendiri..."ucap Umi Farah mengusap punggung bergetar Diva.
"Maafin Diva Umi.. "
"Diva ga bisa jaga perasaan nya ka Deva.. "lirih Diva pilu. Sungguh beribu maaf ingin ia ucapkan.
Allah, ia sudah menyakiti suaminya sedalam ini. Batin nya berteriak.