"Sudah Ra, jika Diva sadar. Ia tak pernah suka sahabatnya menangis, apalagi itu karena nya" Ucap Amel mengusap pundak Ara. Kini Diva sudah dipindahkan ke ruang rawat VIP.
"Kenapa Diva menyembunyikan hal ini mba, hiks" ucap Ara menangis tersedu menenggelamkan wajahnya di samping tangan Diva yang terbebas infus.
"Diva mempunyai alasan kenapa ia menyembunyikan penyakitnya" Kata Amel menenangkan gadis yang masih menangis itu.
Ara memaksa Amel untuk jujur tentang kondisi sahabatnya. Melihat Amel yang begitu panik, Ara yakin bahwa ia mengetahui sesuatu.
Jadi ini alasan kenapa waktu itu Diva tiba-tiba nangis, batin nya teriris.
"Diva mengidap Penyakit ALS (Amyotrophic lateral sclerosis). Kondisi ini terjadi saat sistem saraf di mana sel-sel tertentu (neuron) di dalam otak dan sumsum tulang mati secara perlahan."
"Kemungkinan besar Diva akan mengalami kelumpuhan"
"Dan sekarang penyakit nya sudah menyerang otot pernafasan" penjelasan AmelSakit, hancur itulah yang dirasakan Ara.
"Demi Allah Mba, aku, Abi dan Umi bahkan bang Deva menyayangi Diva dengan tulus, hiks.." ucapnya sesenggukan.
Amel menatap iba, ia hanya bisa mengusap punggung Ara, memberikan kekuatan.
Ara merasa tangan yang ada di genggamannya bergerak . Tak lama bulu mata Diva bergerak, menandakan sebentar lagi ia akan bangun. Amel yang melihat itu segera memeriksa kondisi Diva. Sejenak Ara menyingkir, mengusap air matanya. Berjalan menuju toilet untuk membenahi penampilannya .
Setelah keluar dari kamar mandi, ia melihat Diva dengan posisi duduk sendirian. Ia melangkah ke samping Bangkar, duduk di tempat semula.
"Maaf.." ucap Diva lirih dengan pandangan lurus kedepan.
Rasa sesak itu kembali muncul ketika Ara melihat wajah sendu sahabatnya. Ia menghembuskan nafasnya kasar.
"Mau makan?" sial bahkan suaranya bergetar.
"Maaf.." ucapnya lagi, kini air mata Diva mengalir di kedua pipinya.
Hening
"Kenapa?" kata Ara bergetar menahan supaya Isakannya tak keluar.
Diva bergeming dengan pandangan masih lurus ke depan.
"Kenapa kamu menyembunyikan ini Diva!" ucapnya marah
"Apa kamu sudah tidak menganggap kami sebagai keluargamu?!"
Kini Diva menoleh melihat sahabatnya dengan pandangan terluka.
Diva menggeleng tegas "Hiks.."bibirnya kelu untuk mengeluarkan kata-kata.
"Demi Allah Diva! Jika hal ini tidak terjadi, sampai kapan kamu akan menyembunyikan nya!" Kata Ara tajam.
"Kamu biarkan kami seperti orang bodoh! Apa aku setidak berguna itu untuk kamu?!" ucapnya dengan nada terluka.
"Aku kecewa Diva!, tapi aku lebih kecewa terhadap diri aku sendiri yang membiarkan sahabat nya berjuang sendirian" ia memeluk erat sahabatnya, mereka menangis bersama.
"Hiks.."
Brukk
"Umi.." Diva tertegun dibalik pelukan sahabatnya, ia melihat Umi Farah berdiri di pintu dengan pandangan lurus padanya.
Ara yang mendengar gumaman Diva, berbalik melihat Uminya berdiri kaku di dekat pintu.
Umi Farah berjalan mendekat ke arah mereka.
"Nak?" ucap Umi Farah dengan nada bergetar."Maafin Diva Umi..." Diva menangis kembali dipelukan Umi Farah.
Melihat tubuh Diva yang bergetar mengurungkan niat Umi Farah untuk menanyakan lebih lanjut.
"Sudah nak.. " ucapnya mengusap punggung Diva.
Diva melepas pelukan nya, "Umi gak marah sama Diva?" tanya ia menatap wanita didepannya.
Umi Farah menggeleng, walau ia kecewa, mana mungkin ia memarahi anaknya dalam kondisi seperti ini.
"Lain kali, Umi gak mau Diva bersikap seperti ini lagi. Kalo kamu ga mau Umi marah dan sakit , mulai sekarang Sekecil apapun jangan ada yang di sembunyiin lagi" Diva mengangguk, membenamkan wajahnya di pelukan seorang ibu.
Umi Farah sosok figur yang mengerti dirinya melebihi ia sendiri.