26

30 0 0
                                    

"Bang, kamu istirahat dulu sana. Pulang dulu, bersih-bersih" kata Umi Farah menepuk bahu anak lelakinya.

"Engga Umi, Deva mau tungguin Diva sampe siuman" ucap Deva tanpa mengalihkan pandangannya dari sang istri yang kini tengah terbaring lemah dengan beberapa alat medis yang menempel pada tubuhnya.

Ara yang sejak tadi hanya diam memperhatikan interaksi Umi dan abangnya, kini ia berkata "Bang, bang Deva dari semenjak pulang dari semarang belum istirahat sama sekali"

"Diva ga bakal suka, liat abang kaya gini"

"Bang Deva harus terlihat keren pas Diva bangun, jangan malah kaya gembel gini"

"Araaaa" protes Umi Farah

Ara menyengir mendapat pelototan Uminya.

Deva menghela nafas lelah "Yaudah Deva pulang dulu sekalian sholat ashar, tapi nanti langsung ke sini lagi" Deva beranjak dari kursi samping Diva kemudian menyalimi Uminya dan berjalan keluar.

Merebahkan tubuh tegapnya di kasur, menatap nyalang langit kamarnya yang berhias bintang, Deva tersenyum melihat hiasan hasil karya istrinya. jujur tubuh Deva sangat lelah. Sebaliknya ia dari semarang baru 3 jam ia tidur ditambah istrinya kembali masuk rumah sakit. Setelah penatnya hilang, segera Deva menuju kamar mandi, mengambil air wudhu, menggelar sajadah dan melaksanakan sholat ashar.

"Akhir-akhir ini kondisi istrimu tidak stabil, bahkan dua hari yang lalu ia sempat dilarikan ke rumah sakit"  kata Amel.

"Selain penyakit nya sudah menyerang otot pernapasan, sekarang Diva harus kehilangan fungsi kakinya"

Dua hari yang lalu...

Hati Deva mencelos. Dadanya sesak, matanya panas dan memerah sehingga satu tetes air mata mengalir dipipinya. Berarti saat itu, ia berada di semarang dan Diva berjuang sendirian, ya Allah betapa ia sangat egois.

Kini pria yang selalu tegar itu rapuh melihat begitu banyak kesakitan yang istrinya rasakan. Dalam kesunyian di atas sajadah air matanya kembali luruh, bahkan bahunya bergetar.

Hatinya berdesir perih, Deva takut kehilangan

****

Deva berlari di lorong rumah sakit dengan tergesa, nafasnya tersenggal-senggal, bagaimana bisa ia ceroboh, selepas sholat ashar ia ketiduran sampai jam 8 malam padahal rencananya selepas sholat ashar ia balik lagi ke rumah sakit. Tak lama Terdengar suara tawa dibalik pintu ber cat abu-abu itu, dengan penasaran Deva mendorong gagang pintu rumah sakit itu, ia tertegun melihat 3 wanita yang sangat berarti dalam hidupnya sedang tertawa, yang membuatnya terdiam yaitu wanita yang selama dua hari tak sadarkan diri dan kini dihadapannya Diva tertawa bahagia.

"Ekhemm" deheman keras Ara membuatnya tersadar.

Diva yang melihat suaminya berdiri tersenyum hangat, ternyata ia tak mimpi bahwa Deva-nya sudah kembali.

Umi Farah yang melihat anak lelakinya mendekat, mencolek lengan Ara.

"Kenapa Umi?" tanya Ara.

"Ha?" Ara memgernyit heran melihat Umi Farah matanya bergerak-gerak.

"Ish, kamu jadi perempuan ga peka banget. Ayo keluar, ada yang mau temu kangen" geram Umi Farah mencubit putrinya itu.

"Aish.. Umi" rengek Ara.

Diva yang mendengar Umi Farah tersipu malu sedangkan Deva menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Setelah Umi dan adiknya keluar, Deva mendekat kearah istrinya.

"Kenapa liatin Divanya kayak gitu?"

Deva tersenyum manis, ia duduk di sisi istrinya"Kaka seneng, kamu udah sadar" ucapnya mengelus pelan pucuk kepalanya.

Diva memeluk tubuh suaminya.

"Diva udah tau" katanya lirih di sela dekapan Deva.

"Maaf, kelak Diva akan semakin merepotkan kaka"

Deva mengurai pelukannya. Ia menatap lekat istrinya.

"Diva denger ini baik-baik. Ketika kita sudah menikah dengan seseorang yang kita pilih, kita harus siap menerima kelebihan dan kekurangan pasangan masing-masing. Seorang istri merupakan tanggung jawab suaminya, jika saat ini kamu tidak bisa berjalan, masih ada kaki kaka yang siap sebagai penopang kamu. Diva.. Kaka menyayangimu bukan karena fisik. Tapi, karena kebaikan dan kemurahan hatimu. Jangan pernah merasa merepotkan, kamu bukan orang asing dihidup kaka. Kamu istri kaka, jangan berbicara seperti itu, itu buat kaka sakit"kata Deva berkaca-kaca, ia kembali mendekap tubuh istrinya itu.

Diva terdiam mendengar serentetan penjelan suaminya. Allah, tak ada yang lebih membahagiakan ketika kita mempunyai orang yang menyayangi kita dengan tulus tanpa pamrih.

"Ka Dev cengeng" kata Diva yang merasakan bahu Deva bergetar di pelukannya.

Diva menggigit bibirnya kuat, mendengar Isakan suaminya yang keluar.

Wanita itu berusaha menenangkan Deva-nya dengan elusan.

Deva Diva (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang