If We Break for the Last Time : Chapter 2. Panggilan Tak Terjawab

2.7K 214 4
                                    

Seperti digantungi beban berat, membuat kelopak mata Melia selalu ingin terpejam. Jam pelajaran Bu Sulis terasa sangat lama membuat Melia mencari cara agar rasa kantuknya hilang. Mulai dari memainkan pulpen, mencorat-coret kertas, sampai melakukan hal tidak logis yakni mencubiti pahanya sendiri. Rasa sakit yang ditimbulkan lumayan ampuh membuat mata Melia melek beberapa saat, kemudian mengantuk lagi.

Rama menguap lebar, melirik jam dinding sambil memangku wajah bosan. Materi kewargenageraan yang Bu Sulis sampaikan lewat begitu saja di telinganya

Beginilah kalau guru tidak punya motede baru dalam mengajar. Murid hanya dijadikan pendengar yang membuat kemungkinan mengantuk semakin besar. Terlebih dijam-jam krusial mendekati pulang sekolah--biasanya pikiran murid mudah terpecah.

Di tengah rasa jenuh, kantuk, dan lapar itu, bel pulang sekolah menjerit lantang. Seisi kelas mendadak kompak menghela napas lega sambil bersorak riang.

"Sampai di sini dulu pelajaran kita. Tugas dari saya jangan lupa dikerjakan. Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya," kata Bu Sulis. Setelah itu ia keluar kelas, diikuti siswa-siswi yang sejak tadi tidak sabar ingin pulang ke rumah mereka.

Melia menyeka sudut matanya yang berair karena menahan kantuk. Matanya memerah dengan urat lelah yang bermunculan. Beberapa kali gadis itu menguap lebar sambil memasukan buku-bukunya ke dalam tas.

"Serius nih, Mel, elo enggak mau pulang bareng?" tanya Rama memastikan.

Melia mengangguk yakin, "Iya, Ram. Enggak apa-apa. Lagian gue masih ada kerjaan yang belum kelar."

Rama menggigit bibir bawahnya, menatap sahabatnya itu cukup lama. Lalu ia mengembus napas berat. "Ya udah, deh, Mel. Kalau gitu gue duluan ya." Meski sebenarnya tidak tega melihat Melia, namun Rama tidak bisa berbuat banyak. Gadis itu melambaikan tangan seraya berbalik keluar kelas bersama siswa lainnya. "Bye, Mel. Lo pulangnya jangan kesorean, nanti Papa lo khawatir."

Melia mengacungkan jempol sambil mengangguk, memandangi punggung gadis itu hingga tak lagi terlihat. Kelas terasa begitu sepi membuat Melia semakin mengantuk. Dilipatnya kedua tangan di meja, lantas menumpukkan kepala di atasnya. Cukup lama gadis itu tertidur hingga sebuah benda jatuh--menimbulkan bunyi cukup keras--membangunkannya.

Melia terlonjak. Tersadar lalu melihat kiri dan kanannya. Seisi kelas sudah kosong dan sepi. Jam dinding menujukan pukul setengah empat sore. Dilihatnya pintu kelas belum dikunci, membuatnya menarik napas lega.

Tapi tiba-tiba...

"Astaga gue lupa! Harusnya tadi gue ke ruang OSIS bantuin Sasmi bikin proposal." buru-buru Melia meraih tas punggungnya dan berjalan keluar kelas. Saat tiba di depan ruang OSIS, ternyata ruangan itu sudah dikunci. Melia jadi merasa bersalah dan tidak enak dengan Sasmi, adik kelasnya itu pasti pusing mengerjakan proposal sendiri.

"Belum pulang, Mel?"

Melia terlonjak kaget. Memutar tubuhnya ke belakang, mendapati seorang cowok berkulit putih dengan tinggi badan yang cukup ideal berdiri di hadapannya. "Darren?" cowok itu Darren, ketua bidang hubungan masyarakat dari kelas dua belas. "Iya, belum. Tadi gue enggak sengaja ketiduran di kelas, terus gue lupa kalau gue harus bantuin Sasmi bikin proposal. Pas gue ke sini ruangannya udah di kunci. Gue jadi ngerasa enggak enak udah ingkar janji sama Sasmi."

"Udah lah, enggak usah dipikirin. Tadi gue kok yang bantuin Sasmi bikin proposal."

Lagi? Astaga, Melia jadi merasa tidak enak pada cowok itu. Tidak terhitung sudah berapa kali dia mencover pekerjaan yang seharusnya jadi tugas Melia. "Sekarang gue malah jadi enggak enak sama lo, Ren."

"Enggak enak kenapa?"

Melia menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. "Ya, enggak enak aja. Soalnya gue takut itu jadi kebiasaan buruk buat gue. Nanti malah jadi keenakan."

If We Break for the Last Time [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang