Vote dulunya sebelum membaca.
Ini 1 part sebelum kita berpisah."Happy birthday to you ... happy birthday to you ... happy birthday ... happy birthday ... happy birthday my dad ...." Suara itu terdengar sumbang mengisi keheningan ruang kerja David pukul dua belas tepat lewat satu menit. Sebuah cup cake coklat dengan lilin kecil menyala di atasnya dan topi kerucut yang menempel di atas kepala Melia membuat David berkaca-kaca. "Happy birthday Papa! Semoga panjang umur, sehat terus supaya bisa jagain aku dari orang-orang jahat." Melia memberikan pelukan sayangnya pada laki-laki itu.
David membalasnya dengan usapan lembut di kepala. Gadis kecilnya yang kini sudah remaja namun wanginya tak pernah berubah. Bau khas minyak telon dan shampo beraroma vanila kesukaannya. "Make a wish dulu Pa, setelah itu Papa tiup lilin."
"Tapi 'kan ulang tahun Papa masih seminggu lagi?"
"Emangnya nggak boleh ya kalau Mel ngerayainnya sekarang? Kita 'kan nggak tahu Pa, apa yang bakal terjadi besok. Melia takut nggak bisa ikut rayain ulang tahun Papa."
"Kamu ini bicara apa sih? Memangnya kamu mau pergi ke mana, hm?"
"Ya enggak ke mana-mana Pa. Ayookk ih, Papa make a wish dulu terus tiup lilinnya," rengek Melia, menyodorkan kue kecil di tangannya.
"Oke. Oke." David memejamkan mata lalu memanjatkan doa dalam hatinya. Satu tiupan memadamkan lilin yang menyala di atas cup cake coklat tersebut.
"Tadi Papa doa apa?" tanya Melia.
"Papa berdoa supaya anak Papa selalu diberi kebahagiaan oleh Tuhan."
"Kenapa Papa nggak berdoa buat diri Papa sendiri? Ini kan ulang tahun Papa?"
David mengusap bahu Melia sambil tersenyum, "Karena kebahagiaan kamu adalah kebahagiaan Papa. Akan Papa usahakan apa pun yang membuat putri kecil Papa bahagia."
Waktu bahkan terlalu dini untuk sebuah momen penuh bawang yang membuat kelopak mata Melia terasa panas. Gadis itu tidak tahan untuk tidak menghambur dalam pelukan David. "Melia minta maaf ya kalau selama ini Melia selalu nyusahin Papa. Melia masih sering bandel, sering nggak nurut, malah sering bikin Papa kesal juga. Melia minta maaf."
Hal yang selalu Melia takutkan dalam hidupnya adalah ketika dirinya tidak bisa membahagiakan David, sedangkan ayahnya selalu berusaha untuk membuatnya bahagia. Meskipun terkadang David bersikap keras, egois, atau mungkin marah-marah, Melia memakuluminya. David pasti lelah sebab ia mengemban tanggung jawab sebagai orang tua tunggal yang mana tugasnya tak hanya mengurus Melia namun juga pekerjaannya di kantor. "Papa udah bilang 'kan, kalau Papa nggak suka lihat Melia nangis?"
"Tapi Melia sayang sama Papa. Melia mau Papa bahagia seperti Papa bahagiain Melia juga."
"Papa sudah cukup bahagia."
"Melia mau Papa nikah lagi. Melia mau ada orang yang jagain Papa. Ngurus Papa dan sayang sama Papa."
David melepas pelukan Melia. "Maksud kamu apa?"
"Pa, Melia nggak pernah minta yang macam-macam 'kan sama Papa? Melia nggak pernah 'kan maksain kehendak Melia sama Papa?" Iya, untuk semua pertanyaan itu David jawab iya. Melia memang tidak pernah meminta hal lebih kepadanya. "Tapi untuk kali ini aja Pa. Melia mau Papa turuti kemauan Melia. Aku mau Papa menikah lagi dan aku mau Papa bahagia."
Rasanya seperti ada yang lain dari putrinya. Hatinya tiba-tiba dibuat resah melihat wajah Melia yang tampak lain. Tidak. Tidak tampak seperti orang sakit atau seseorang yang mempunyai banyak beban. Hanya saja David merasa ada yang mengganjal dalam hatinya. Ia resah untuk sesuatu yang tidak diketahui alasannya. Seperti ada sesuatu yang akan terlepas, ada sesuatu yang mungkin akan hilang. Persis seperti saat sebelum dirinya kehilangan almarhumah istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
If We Break for the Last Time [Completed]
Teen FictionCatatan : Cerita ini mengandung unsur ke uwuwan yang berbahaya untuk para jomblo. Beberapa adegan akan membuat kalian kesal sampai mau nampol (tapi nggak bisa- *ya udah tampol diri sendiri aja) wkk. Nggak percaya? Buktiin sendiri ya... *** Berpacar...