Author note : Vote sebelum membaca.
Siap siap naik roller coaster....
In 3... 2... 1... Go!
Iris teduh itu bergerak lambat, kelopak matanya terkulai lemas menutup penginderaan dengan damai sambil memeluk lutut di atas tempat tidur. Derai hujan menjadi satu-satunya suara mendominasi pendengaran Melia. Langit seolah mendukung keadaannya yang tengah kelabu. Tidak bisa ditebak kapan hujan ada datang, bahkan tadi pagi begitu cerah hingga secepat kilat berubah mendung lalu hujan. Seperti perasaannya.
Hari ini, seharusnya Melia berada di sekolah. Mengikuti jalannya pelajaran seperti siswa pada umumnya. Namun, kondisi hatinya tidak mendukung dan membolos adalah cara yang sebenarnya tidak tepat namun Melia lakukan.
Rumah Rama selalu terbuka jika saja dirinya ingin beristirahat. Dengan senang hati gadis itu menemani Melia tidak masuk kelas. Orang tuanya tak pernah mau ikut campur, jadi keduanya takkan perlu repot memberi penjelasan ini-itu kalau tidak masuk sekolah. Dengan catatan, jangan terlalu sering.
"Mel, hape lo bunyi lagi tuh. Kayaknya dari, Atlanta deh."
Melia meraih ponsel di sampingnya. Tanpa ragu me-reject panggilan Atlanta, membuat Rama mengangkat sebelah alisnya.
"Sebenarnya kalian kenapa lagi sih, Mel? Atlanta bikin salah lagi sama lo?"
"Enggak, kok."
"Tapi kenapa teleponnya nggak lo angkat? Dia mungkin aja lagi butuh lo, Mel. Lo juga kan yang bilang sekarang dia lagi kacau karena masalah keluarganya?"
"Gue udah nggak ada perasaan apa-apa lagi, Ram, sama dia."
Rama mendelik, menyambut dua gelas coklat hangat yang diantarkan pelayan, lalu membagikan salah satunya untuk Melia. "Lo bercanda, ya? Jangan lo pikir gue lupa ya gimana kukuhnya lo perjuangin Atlanta. Dan sekarang lo bilang, lo udah nggak ada perasaan apa-apa lagi sama dia?" Rama menggeleng tak habis pikir. "gimana gue bisa percaya?"
"Mungkin karena gue udah capek sama dia."
"Mel, lo nggak mungkin kayak gini kalau enggak ada apa-apa. Cerita sama gue, sebenarnya ada apa—"
"Plis, jangan bahas soal ini dulu ya, Ram, gue lagi nggak mood."
"Sori." Rama memilih menuruti, membiarkan suara hujan meretas keheningan di antara mereka berdua. Entah ada badai apa lagi yang menerpa hubungan sahabatnya itu. Rama merasa semesta begitu kejam menebar duri pada kisah cinta Atlanta dan Melia.
***
Seperti mayat hidup. Lingkar hitam di bawah mata memoles kulit pucat tak berdarah, serta urat mata yang memerah mengular di sisi iris coklat terangnya. Rambutnya yang biasa selalu tersisir rapi kini tampak kering tanpa sapuan pomade. Dua orang dari sudut kamar menatapnya prihatin, namun tidak ada yang berani mendekat terlebih saat jari-jari Atlanta mengerat—terkepal menahan emosi. Salah-salah bukannya membuat tenang malah akan memancing amukan cowok yang sedang kalut tersebut.
Di luar hujan sudah tidak selebat setengah jam yang lalu. Hanya tersisa rintik-rintik yang lumayan membasahi jika diterobos. Matanya kembali mengarah pada benda pipih yang beberapa saat ditolak panggilannya oleh Melia.
Sebotol anggur dirogoh dari atas nakas. Namun, sensasinya tak jua membuat pikirannya tenang. "Arrgh!" Satu lemparan keras membuat botol tersebut remuk. Cairannya mengaliri bebas lantai marmer kamar Rico.
"Gue mau ngomong sama, Atlanta." Rico mengangguk, keluar dari kamar membiarkan Zelvin menenangkan sepupunya sendiri. "Gue tahu kondisi lo lagi kacau. Tapi lo harus pakai otak, At. Lo nggak bisa kayak gini."
KAMU SEDANG MEMBACA
If We Break for the Last Time [Completed]
Roman pour AdolescentsCatatan : Cerita ini mengandung unsur ke uwuwan yang berbahaya untuk para jomblo. Beberapa adegan akan membuat kalian kesal sampai mau nampol (tapi nggak bisa- *ya udah tampol diri sendiri aja) wkk. Nggak percaya? Buktiin sendiri ya... *** Berpacar...