Oke, tarik napas. Tahan. Buang pelan-pelan.
Jangan lupa komentarnya..
"Kita putus!"
"Itu lebih baik daripada kita break enggak jelas."
Kalimat menyakitkan itu berputar-putar di kepala Melia. Gadis itu sesegukan di kamarnya sambil memeluk boneka beruang berwarna coklat pemberian Atlanta di hari ulang tahunnya——lima bulan lalu. Rasanya begitu tiba-tiba dan Melia masih tidak siap dengan apa yang terjadi. Meski dirinya yang pertama kali meminta break tapi di hatinya tidak ada sama sekali niatan untuk putus. Melia hanya ingin semuanya menjadi lebih baik, dengan jalan break untuk sama-sama intropeksi diri. Tapi Atlanta menanggapi semuanya dengan pikiran sempit. Seperti mimpi tapi ini terlalu nyata, dan memang ini nyata. Semuanya selesai
Kemarin Melia mendatangi Atlanta sebab ia khawatir terjadi sesuatu pada cowok itu. Kebiasaan jika Atlanta meneleponnya sampai beberapa kali berarti cowok itu punya masalah yang ingin ia ceritakan pada Melia. Meski status mereka masih break tapi itu tidak mengurangi kepedulian Melia terhadap masalah yang mungkin Atlanta hadapi. Ketika ditemui alih-alih bercerita Atlanta malah memutuskannya secara sepihak. Hal yang membuat Melia patah hati dalam waktu sekejap. Lebih parah cowok itu meminta Melia agar menganggap tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. What the hell? Bagaimana bisa semudah itu? Atlanta benar-benar tidak berperasaan!
"Lo mau kebebasan, gue kasih lo kebebasan. Gue akan turuti semua kemauan lo kecuali satu hal..."
"Gue enggak bisa kalau harus jadi orang lain."
Menjadi orang lain katanya? Di bagian mana Melia pernah meminta Atlanta menjadi orang lain? Tidak ada dan tidak pernah. Melia tidak pernah menuntut Atlanta lebih dari apa yang ia lakukan selama ini. Melia menerima Atlanta dengan segala masalah yang cowok itu ciptakan di sekolah. Dan jika sekarang Melia meminta feedback, apa itu salah? Oke, cinta memang tidak mengenal feedback sebab cinta itu sifatnya tulus. Memperbaiki diri. Itu saja. Apa sesulit itu bagi Atlanta memperbaiki diri—berhenti membuat kekacauan yang tidak ada hasilnya. Apa itu terlalu berat untuk dilakukan hingga 'putus' menjadi jalan terakhir atas hubungan mereka, atau memang hanya sebuah alibi sebab Atlanta tak lagi cinta?
"Gue enggak tahu dan gue enggak bisa berkomentar apa-apa soal ini. Kalo emang lo mau nangis lo nangis aja, Mel. Tapi elo harus janji cuma buat hari ini, karena besok lo udah harus bangkit dan buktiin sama Atlanta kalo elo bisa tanpa dia."
"Tapi, Ram. Gue..."
"Lo bisa, Mel!"
Melia tidak tahu bagaimana ia akan melewati hari ini jika saja Rama tidak ada di dekatnya. Satu-satunya sahabat yang rela meluangkan waktu untuk sekadar melihatnya menangis—meracau tidak jelas meluapkan rasa hancur yang diterimanya atas keputusan Atlanta. Meskipun tidak ada nasihat bijak, akan tetapi kehadirannya sebagai pendengar yang baik saja sudah cukup untuk membuat Melia tenang.
Mereka bersahabat atau lebih seperti saudara. Dulu sewaktu ibunya Melia meninggal, Rama dengan senang hati membuka rumahnya untuk Melia jika sewaktu-waktu gadis itu merasa rindu akan sosok ibu. Ia tidak segan berbagi kasih sayang orang tuanya pada Melia. Salah paham mungkin menjadi hal yang biasa di antara mereka berdua, namun selalu ada cara untuk keduanya memperbaiki persahabatan yang sudah terjalin sejak mereka memakai seragam putih-merah.
"Kalo lo seneng gue, adalah orang yang paling bahagia. Dan kalo lo sedih, gue adalah orang yang paling ngerasain sakit hati. Gue ingat pesan tante Iren kalau gue harus selalu jagain lo, Mel. Dan itu kenapa dari awal gue enggak pernah setuju kalo lo deket sama Kak Atlanta. Gue takut lo disakitin sama dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
If We Break for the Last Time [Completed]
Roman pour AdolescentsCatatan : Cerita ini mengandung unsur ke uwuwan yang berbahaya untuk para jomblo. Beberapa adegan akan membuat kalian kesal sampai mau nampol (tapi nggak bisa- *ya udah tampol diri sendiri aja) wkk. Nggak percaya? Buktiin sendiri ya... *** Berpacar...