Part 18 - Perasaan Manusia

42 9 3
                                    

Dream, Love and Friendship © Group 1

LavenderWriters Project II

PART 18 — Perasaan Manusia

Created by chajuary

***

Fadil diam di balkon kamarnya malam itu, termenung di bawah sinar rembulan juga taburan bintang-bintang—di genggamannya ada amplop dengan lambang Universitas ITB yang berisi undangan untuk Fadil berkuliah di sana tanpa biaya. Dia sudah lima kali membaca isi surat itu, tertera jelas bahwa Universitas itu sangat menginginkan Fadil jadi mahasiswa pilihan di sana—selain karena cowok itu sangat pintar di akademik, dia juga sudah banyak memenangkan juara di bidang non-akademik. Tipe mahasiswa idaman seluruh Universitas dan calon wajah sukses baru Indonesia.

Tapi, tidak. Fadil bukan anak sebebas itu yang bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Dan Fadil sebenarnya muak. Apalagi kalau menatap kamarnya sekarang—yang di mana dulunya banyak piala juga piagam serta medali dari taekwondo yang menghiasi lemari kaca atau dindingnya, sekarang hanya kosong, polos. Semua piala, piagam, medali itu, Fadil tidak tau nasibnya bagaimana. Masih utuh atau sudah jadi seonggok sampah gak berguna yang untuk mendapatkannya saja—Fadil rela bohong bahkan sampai bonyok sana-sini.

Hidup itu pandang-memandang. Fadil suka iri jika menatap para teman lainnya yang bebas melakukan apapun yang mereka inginkan, sekalipun mereka tidak sepintar atau seberbakat Fadil. Dari luar kebanyakan mereka pasti menganggap Fadil adalah definisi sempurna yang nyata, ganteng, berbakat, anak orang kaya, apalagi yang kurang? jawabannya banyak.

Fadil hanya kurang kebebasan dalam hidupnya. Dan karena itu dia jadi kurang banyak dalam hidupnya. Kurang senang-senang, kurang percaya pada keputusan sendiri, kurang kepercayaan dari orang tuanya.

Percaya atau gak—ITB adalah kampus impian Fadil sejak dia duduk di bangku tingkat menengah pertama. Tapi, sekali lagi, hidup Fadil tidak sebebas itu.

"Undangan dari mana lagi itu, Dil?"

Fadil terlonjak. Pemuda itu mau bergerak menyembunyikan undangan dari ITB kalo saja mamanya gak menahan tangan Fadil dengan tatapan mendelik tajam ke arah Fadil, kemudian merebut amplop undangan tadi dengan gerakan cepat dan menuntut.

Diana membukanya, membaca serinci mungkin apa yang tertera di atas kertas putih itu. "Hah? Mereka pikir Mama sama Papa gak mampu biayain kamu sekolah apa?!"

Lalu, tanpa mendengar sanggahan Fadil, Diana membuang undangan itu ke bawah. Membuat Fadil menghela napas berat.

"Kenapa di buang, Ma?" tanya Fadil—lirih. Wajahnya terlihat menunjukkan ekspresi kecewa. "Fadil pengen kuliah di sana."

Diana mengangkat telunjuknya. Menggerakan ke kanan dan kiri berulang seraya berucap, "gak gak, Fadil. Mama sama Papa udah dapat Universitas bagus buat kamu di luar negeri."

Fadil cuma nunduk. Terus berdiri dari posisi duduknya.

"Terserah. Fadil capek."

Cowok itu berlalu dari hadapan Diana, tanpa menyentuh teh serta biskuit yang baru saja Diana letakkan ke meja rotan yang ada di sana. Fadil cuma butuh hiburan sekarang.

***

Mila mendengkus. Gadis itu sangat malas sebenarnya buat ketemu Fadil di saat dia bener-bener kesal karena Fadil mendapatkan segalanya yang dia impikan. Tapi, Mamanya yang cantik nan baik—dengan senyum hangat menyuruh Mila buat mampir ke rumah Fadil.

Dan jadilah di sini Mila sekarang. Di depan rumah Fadil dengan rantang antik berisi camilan juga makanan buatan sama Mama. Gadis itu langsung masuk begitu di lihat gerbang tidak di kunci, juga tidak ada satpam yang jaga.

Agak takut juga sebenarnya Mila buat ke sini, karena terakhir kali dia berkunjung, situasi rumah sedang tidak kondusif, juga tatapan amarah Papa Fadil yang masih Mila ingat dengan jelas sampai sekarang.

"Semoga Om Farhan gak di rumah," gumam Mila, jujur saja dia ngeri sendiri sekarang kalau melihat Farhan, kesannya gak sopan memang berdoa seperti itu, tapi—udah terlanjur, gimana dong? Mila juga berharap gumaman doanya tadi terkabul.

Pluk...

Mila menggeram. Baru saja dia mau naik ke lantai rumah Fadil, tapi langkahnya terganggu karena ada gulungan kertas tak beraturan yang jatuh mengenai jidatnya kemudian menggelinding sampai berhenti di ujung sepatu kets Mila.

Mila memundurkan langkah, gadis itu mendongak, lantas mendengkus kesal saat menatap ada Fadil sedang berdiri di sana, menghadap belakang balkon.

"Apaan banget buang sampai sembarang!" gerutunya, terus mungut kertas tadi. Mila penasaran.

Dengan seksama Mila membaca setiap goresan tinta di atas putih itu. Lantas meremat kertas itu dengan kesal lagi setelah tahu isinya. Tawaran beasiswa penuh selama dua semester untuk Fadil di ITB. Hal yang tadi diperbincangkan para guru di sekolah. Fadil tolak semuanya. Termasuk yang ini, ITB.

"Sok hebat banget." Mila berkata dingin.

Gadis itu berbalik. Hilang sudah niatnya buat menuruti kemauan Mamanya. Terlalu muak buat melihat Fadil.

"Mila?"

Suara berat itu sukses menghentikan langkah Mila buat menjauh dari pekarang kediaman Fadil. Disusul langkah kaki mendekat.

"Lo ngapain—"

"Salah alamat!" jawab Mila asal, terus berganti haluan ke arah kiri di mana tidak ada tubuh tegap Fadil yang menghalangi jalannya. Tapi, Fadil malah menahan lengan Mila.

"Lepasin!"

Fadil mendorong tubuh Mila buat berada di depannya lagi. "Ada yang mau dibicarain?"

Mila menggeram. "Ada!"

Fadil mengerutkan kening. "Ya udah apa?"

"Lo sombong!"

Fadil makin tidak mengerti jalan pikiran gadis di depannya. Jadi, Mila kenapa? Batin Fadil.

***

To Be Continued

[1]Dream, Love and Friendship✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang