Elena masih nggak paham sama maksud Hakim tadi. Bukannya dia terlalu percaya diri, tapi nggak salah kan kalo dia mengira Hakim tertarik padanya?
"Saya cuma takut lupa kalo kamu udah nikah."
Kalimat itu terus saja berputar di kepalanya. Konsentrasi kerjanya juga terganggu. Dan efeknya sampai sekarang bener-bener nggak baik buat Elena. Dia terus kepikiran sampai pulang. Meskipun harusnya dia santai aja tapi nyatanya dia nggak bisa sesantai itu.
"Ya ampun!" Elena menggeram ketika melihat ban mobilnya kempes.
Dengan sangat terpaksa karena udah malem juga nggak mungkin dia manggil tukang bengkel ke sini, akhirnya dia memutuskan untuk memesan ojek online.
Namun niatnya gagal karena baru saja dia keluar dari mall, angin bertiup kencang dan membuat Elena mendapatkan outernya disusul rintik hujan yang mulai berjatuhan.
Saat Elena mau berlari ke arah halte, seseorang datang dengan payung ditangannya untuk memayungi Elena. Elena menengadahkan kepalanya dan mendapati Hakim yang tengah tersenyum manis ke arahnya.
"Boleh aku anter kamu pulang?"
***
Jam menunjukkan pukul 10 malam ketika Elena sampai rumah dengan kepalanya yang basah. Dia akhirnya menolak Hakim untuk mengantarnya pulang. Bukan apa-apa, dia hanya takut dengan kemungkinan-kemungkinan yang nantinya bakal terjadi. Apa lagi di saat dirinya berniat menceraikan Adin. Di saat dia butuh perhatian, dan ada orang yang perhatian, pasti nggak menutup kemungkinan hatinya bakal sedikit luluh.
Tok tok tok
Elena mengetuk pintu kerja Adin, memastikan apa dia sudah pulang. Tetapi Elena sama sekali tidak mendengar suara Adin dari dalam ruangan. Dia akhirnya membuka ruangan itu dan tidak mendapati Adin.
Elena melangkahkan kakinya masuk ke ruangan itu. Dilihatnya foto dia dengan Adin yang sedang menggendong Shila. Meski dengan senyum yang dipaksakan, tapi Elena cukup senang Adin memajang foto itu di meja kerjanya.
"Kita emang udah nggak bisa sama-sama lagi." Elena tersenyum sebelum akhirnya keluar dari ruangan itu.
Baru saja Elena menutup pintu, Adin sudah berdiri di depannya. Dia menatap Elena dengan tatapan sayu, terlihat kalau dirinya sangat capek. Namun kali ini, Elena tidak mau peduli lagi dengannya. Elena berjalan melewati Adin yang masih menatapnya. Sudah seharusnya dia belajar tidak peduli dengan Adin.
Elena lalu pergi ke kamarnya dan mengambil berkas yang berada di map coklat yang disimpan di laci. Sekarang dia udah mantap dengan keputusannya, apa lagi mengingat sikap Adin kemaren.
Disodorkannya berkas itu ke depan Adin yang sekarang sudah duduk di ruang kerjanya.
"Ini dokumen perceraian."
Adin mengerutkan dahinya menatap Elena. Dia tidak paham dengan apa yang Elena berikan.
"Kita sampai di sini aja." Elena mengalihkan pandangannya ketika tatapan mereka bertemu. "Aku pengen nunggu ingatan kamu balik lagi, tapi aku nggak bisa. Aku nggak mau sakit hati lagi sama sikap kamu. Aku bener-bener udah nggak kuat sekarang."
"Kenapa selama ini kamu bisa tahan sama aku?" Adin mengambil berkas itu dan mengeluarkan isinya. Dibaca dokumen itu dengan seksama.
Elena menatap Adin yang juga sedang menatapnya. Di saat seperti inilah yang ditakutkan Elena. Dia takut kalau perhatian-perhatian kecil Adin saat ini bisa merubah pikirannya untuk menceraikan Adin. Karena Elena yakin setelah Adin inget semuanya pasti dia bakalan balik kaya dulu lagi. Dan itu akan lebih menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
OCCASION [END]
RomanceTerinspirasi dari drama "The Miracle We Met" dan ditambah bumbu-bumbu tanpa michin. Hope you guys enjoy this story~ Elena : 🐥 Adin : 🐻 17022020 - 01062020