Fourteen

1.4K 185 4
                                    

"Dia suka sama aku mas."

Adin semakin mengerutkan dahinya, terlebih melihat Elena yang masih nggak mau menatap Adin. Jantungnya semakin berdegup kencang karena Adin masih terdiam dan sama sekali nggak menanggapi ucapannya itu. Lalu Elena memberanikan dirinya menatap Adin yang justru sekarang tengah tersenyum ke arahnya.

"Kok senyum?" Elena memanyunkan bibirnya. Padahal jantungnya udah mau copot, tapi Adin cuma senyum.

Adin melangkahkan kakinya untuk mengikis jarak di antara mereka. Diselipkannya rambut Elena ke belakang kuping. Ibu jarinya mengusap pipi mulus mikik Elena itu dengan bibirnya dengan cepat mengecup bibir Elena yang masih saja cemberut.

"Masuk yuk." Adin menggandeng tangan Elena untuk masuk ke dalam rumah.

Elena hanya bisa mengikuti langkah besar Adin yang kini menuju ke lantai dua, tempat di mana kamarnya berada. Tapi perasaan Elena masih aja nggak tenang karena Adin langsung pamit untuk mandi begitu sampai di kamar. Meninggalkan Elena dengan perasaan yang masih saja belum tenang karena Adin masih belum menjawab ucapannya tadi. Padahal Elena pengen tau respon Adin bagaimana.

Pintu kamar mandi terbuka dan Adin berjalan ke arah lemari untuk memakai bajunya. Elena masih terus menatap Adin sampai suaminya itu ikut menyandarkan tubuhnya di samping Elena.

"Kamu nggak ngantuk?" tanya Adin yang justru mulai membaca buku dan kini tatapannya fokus ke arah buku tebal yang sudah ada di nakas.

Entah kenapa Elena malah jadi kesel sendiri. Padahal dia sudah menunggu jawaban dari Adin, tapi kayanya Adin tidak akan membahasnya lagi. Apa lagi dia sudah disibukkan dengan buku tebalnya itu. Tanpa menjawab pertanyaan Adin, Elena langsung membaringkan tubuhnya dan membelakangi Adin.

"Kamu kalau mau pergi nggak papa. Aku percaya sama kamu." suara Adin berhasil membuat Elena membuka matanya yang sudah terpejam. "Dari dulu kan emang banyak yang suka sama kamu. Jadi aku udah terbiasa dengan hal itu."

Oke, jadi Adin nggak cemburu sama sekali? Elena semakin kesal mengetahui hal itu. Padahal Elena pengen Adin menahan dirinya biar nggak pergi sama Hakim. Elena akhirnya mendudukkan dirinya kembali dan menatap Adin.

"Dia 'ganteng banget' loh mas, kamu aja kalah." Elena menekankan kata 'ganteng banget' tapi sepertinya Adin nggak terpengaruh sama sekali karena dia cuma bergumam menanggapi Elena dan masih fokus membaca buku. "Ya udah kalau gitu. Nggak rugi juga aku pergi sama duren kaya Mas Hakim. Paling nanti juga dikira istrinya, secara kan aku cantik dan-"

"Kok manggilnya mas?" Adin menutup bukunya dan menatap Elena nggak terima. Apa-apaan manggil 'mas' segala.

"Ya suka-suka aku lah." Elena melipat kedua tangannya di depan dada.

"Nggak bisa gitu dong, panggil Pak aja kaya biasanya kamu manggil dia pas masih kerja. Dia mantan bos kamu juga kan?"

"Kok tau?!" Elena membulatkan matanya. Dia terkejut mengetahui fakta kalau Adin tau papanya Lia ini juga mantan bosnya. Padahal Elena nggak pernah cerita tentang Hakim sama sekali.

"Ya taulah, emang dulu aku promosi di mall ijinnya sama siapa? Satpam?!"

"Tapi kan aku belum pernah cerita kalau dia papanya Lia juga."

"Pokoknya nggak usah pergi, aku nggak ijinin." Adin kembali membuka bukunya meskipun fokusnya sudah terbagi sekarang.

"Nggak, pokoknya aku mau pergi sama Mas Hakim. Salah siapa tadi ngijinin aku?" Elena menahan senyumnya saat melihat Adin kembali menatapnya tajam.

"Nggak ada. Aku nggak kasih ijin. Pokoknya aku bakal bawa Shila ke rumah mama biar nggak usah pergi sama kamu. Biar dia main sama si itu, siapa lagi namanya lupa, ya pokoknya itu lah. Nggak mau tau kamu nggak boleh-"

OCCASION [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang