Eighteen

1.2K 190 16
                                    

YUK TEKAN BINTANG DULU SEBELUM MEMBACA


3 bulan kemudian

Jam menunjukkan pukul sebelas malam tapi dia rasanya pengen banget makan martabak telor. Elena udah nyoba untuk tidur tapi rasanya nggak bisa karena keinginannya itu. Dan akhirnya dia lagi-lagi merepotkan seseorang yang sejak kehamilannya itu selalu saja dia repotkan.

Mendengar suara mobil memasuki halaman rumahnya membuat Elena tersenyum dan berjalan untuk membukakan pintu. Terlebih ketika melihat sosok dengan wajah lelahnya memasuki rumah dengan menenteng kresek berisi martabak pesanannya.

"Makasih mas, kamu tuh emang yang terbaik." Elena mengacungkan kedua jempolnya sebelum membuka bungkus itu dan mulai melahapnya.

Sedangkan di depannya, orang yang membelikan martabak hanya bisa tersenyum tipis sambil memperatikan Elena memakan martabak dengan lahap. Satu tangannya terangkat mengusap kepala Elena.

"Mas mau?" Elena menyodorkan satu potong martabak telor namun langsung mendapatkan gelengan kepala.

"Liat kamu makan aja aku udah kenyang." Pria di depan Elena itu terkekeh saat Elena langsung memasukkan satu potongan itu ke dalam mulutnya. "Yang penting keinginan anak aku terpenuhi." Lanjutnya yang membuat Elena tersenyum tipis.

***

"Mas bangun," Elena menepuk pelan pipi orang yang saat ini tertidur pulas di sofa. Perlahan orang itu membuka matanya. "Udah aku bilang pulang aja nggak papa atau pindah ke kamar tamu malah tidur di sini."

"Om Dio!" Teriak Shila yang langsung berlari ke arah Dio dan memeluknya.

"Anak om udah bangun?" Dio langsung memangku Shila begitu Shila menubruk tubuhnya.

Sejak kepergian Adin, yang Elena masih belum tau kemana suaminya itu, Dio mengambil alih semuanya. Shila bahkan sudah lupa akan sosok papanya. Kehadiran Dio setidaknya berhasil membuat rumah tidak terlalu sepi karena Shila terlihat bahagia ketika bersama Dio. Dio juga mengklaim kalau anak yang saat ini Elena kandung adalah anaknya, karena Dio yang selalu mengurus keinginan Elena selama ngidam.

"Hari ini jadi ke dufan kan om?" Tanya Shila semangat.

"Jadi dong."

Elena tersenyum ketika melihat Shila begitu dekat dengan Dio. Dia bahkan bisa melupakan Adin sejenak. Tapi kenapa Elena justru semakin hari semakin merindukan suaminya itu? Sudah tiga bulan lamanya dan dia semakin khawatir kalau anaknya lahir Adin nggak ada di sampingnya. Bagaimana dia bisa bahagia saat suaminya bahkan nggak bisa berbagi kebahagiaan saat anaknya lahir nanti?

Elena mengelus perutnya yang sudah mulai membuncit. Dia buru-buru menghapus air matanya ketika melihat Dio yang mendekat ke arahnya. Tapi saat ini dia nggak bisa menyembunyikan perasaannya. Rasa sesak di dadanya semakin hari semakin bertambah. Sekali saja, Elena tidak ingin menyembunyikan rasa sakitnya di depan Dio.

"Maaf," hanya kata itu yang terlontar saat Dio udah ada di depannya. Dia berusaha menghentikan tangisnya tapi apa daya, Elena justru semakin terisak sambil menutup wajahnya dengan telapak tangannya.

"Shit!" Dio yang tidak tega melihat Elena semakin sesenggukan lalu menarik perempuan itu ke dalam dekapannya. Rahangnya mengeras. Ini pertama kalinya Dio melihat Elena menangis di depannya. Biasanya dia hanya mendengar tangisan pilu Elena dari luar kamar setiap malamnya. Tapi perempuan itu terlalu pintar menyembunyikan rasa sakitnya di depan Dio. Dan ini kali pertama Dio melihat Elena begitu rapuh.

"Mas," lirih Elena yang masih terisak di pelukan Dio. "Anak aku gimana mas, dia butuh mas Adin."

Dio semakin mengeratkan pelukannya. Setiap kata yang terucap dari bibir Elena terdengar sangat menyakitkan bagi Dio. Dia yang bahkan bukan siapa-siapa bagi Elena, tapi mendengar isakan pilu Elena berhasil membuat dadanya ikut merasakan apa yang Elena rasakan.

OCCASION [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang