Bab 25

47.7K 1.8K 5
                                    

Tik...tik....tik....hanya suara titik air bekas hujan yang mengisi keheningan kamar saat Zevan baru keluar dari kamar mandi. Sebelum dia masuk kamar mandi beberapa menit yang lalu, istrinya itu masih terlihat duduk di kasur mereka sambil membaca majalahnya. Sekarang dia terlihat sudah berbaring membelakangi Zevan dengan nafasnya teratur. Padahal tadinya Zevan mau meminta haknya sebagai suami. Sejak acara pernikahan mereka 2 hari yang lalu, sedikitpun Dara tak membiarkan Zevan menyentuhnya. Ada saja alasannya, mulai dari capek sampai malu pada orangtua Zevan yang masih menginap dirumah mereka. Padahal apa yang membuatnya harus malu, toh mereka melakukannya di kamar, bukan diruang tamu juga kan? Alasan Dara sungguh menguji tingkat kesabaran Zevan. Sekarang, melihat Dara tertidur, berhasil membuat Zevan mengacak-acak rambutnya sendiri dengan gusar.

"Sayang...." bisiknya selembut mungkin di telinga Dara. Zevan tahu Dara belum benar-benar lelap tidurnya. Karena sesekali dia melihat mata istrinya itu bergerak.

"Hmm..." sahut Dara tanpa berusaha membuka matanya.

"Kok tidur sih? Kamu ngga kasian sama aku?"

"Aku ngantuk Zevan. Mau tidur," jawab Dara memelas.

"Tapi aku pengen," balas Zevan, masih sempat dilihatnya Dara menyembunyikan senyum darinya dengan menutupkan bantal kewajahnya. Dengan cepat Zevan menarik bantal itu dan menemukan istrinya tersenyum jahil disana.

"Kamu ngerjain aku ya?" Dara menggeleng, mukanya bersemu merah dengan bibir bawah yang digigitinya, membuat Zevan semakin tak bisa menahan keinginannya. Dikecupnya bibir itu dengan lembut yang kemudian berganti dengan lumatan lama dan panas. Dirasanya Dara membalas setiap ciumannya, tanda bahwa istrinya itu sudah mempunyai hasrat yang sama dengannya.

"Udah lama ya kita ngga ngelakuin ini. Kamu takut?" tanya Zevan sambil terus menghujani Dara dengan ciuman-ciuman kecil di sekitar wajah juga lehernya. Tak ada jawaban dari mulut Dara, hanya suara nafasnya yang memburu terdengar oleh Zevan.

Zevan sudah berhasil meloloskan Dara dari baju yang dia kenakan sambil menciumi lehernya saat mereka mendengar suara bel dari luar.

"Zevan, kamu dengar juga kan?" tanya Dara, menutup tubuh atasnya yang terbuka dengan selimut, seakan orang diluar sana bisa melihatnya setengah telanjang seperti ini.

"Iya. Paling orang minta sumbangan," sahut Zevan cuek.

"Malam-malam begini? Siapa tahu bunda? Ada barang mereka yang ketinggalan mungkin?" setahu Zevan kedua orang tuanya sekarang sudah berada dalam pesawat menuju Zurich. Sekali lagi bel berbunyi, kali ini langsung 3 kali sekaligus, menandakan orang yang memencetnya mulai kehilangan kesabaran.

"Aku bukain deh, siapa tau penting. Mencetnya ngga sabaran gitu sih," Dara mengenakan kembali bajunya dan Zevan hanya bisa memandangnya dengan pasrah saat melihat istrinya sudah berjalan dengan cepat keluar dari kamar.

***

Zevan POV

"Ngapain kemari sih? Bikin rusuh rumah gue malam-malam begini!!!" rutukku dengan kesal waktu melihat Alan juga Andra yang terduduk dengan lemas di sofa ruang tamu bersama Nino yang terlihat terbaring di lantai tak jauh dari mereka. Sedangkan Dara sudah menghilang ke dapur setelah membantu mereka masuk. Apa mereka masih belum puas menggangguku dengan Dara setelah pada hari pernikahan kami mereka berhasil membuat pelaminan kami hampir hangus terbakar dengan kembang api yang mereka nyalakan asal-asalan.

"Gue nafas dulu Van, baru gue jelasin nanti" sahut Alan dengan pelan. Dia memang terlihat kayak orang baru lari dari jarak 1 km. Kudekati Nino yang terlihat diam dengan muka bulenya yang memerah. Apa dia mabuk? Tumben? Seorang Nino mabuk?

"Ini anak kenapa?" tanyaku beralih pada Andra yang terlihat lebih tenang nafasnya dari Alan.

"Dia yang bikin ulah. Mabuk-mabukan ngga jelas dan bikin onar di club." Jelas Andra. Dara muncul dari dapur dengan 3 gelas minuman hangat untuk mereka. Aku bisa melihat tanda merah di lehernya yang berusaha dia tutupi dengan rambut panjangnya. Hal itu makin menaikkan emosiku karena memikirkan bahwa aku hampir saja melakukannya bersama Dara, ketiga orang ini benar-benar membuatku harus bersabar lebih dan lebih lagi.

"Trus kenapa kalian bawa dia kesini?" tanyaku sambil terus berusaha mengendalikan emosiku.

"Dia meracau minta di bawa kesini. Ya udah, kami bawa aja kesini. Dari pada dia terus bikin onar." Aku hanya bisa menggeram gusar mendengar penjelasan Andra. Seharusnya mereka bisa memahami sahabatnya yang baru menikah ini. Kan masih bisa Nino mereka bawa ketempat lain. Kenapa harus kemari dan mengganggu acaraku bersama Dara?

"Gue ngga mau tau, pokoknya kalian yang urus dia. Gue ngga mau tau! Tinggalin rumah gue secepatnya!" Andra dengan cuek ikut berbaring di sofa seperti yang sudah dilakukan oleh Alan. Habis kata-kata aku dibuat mereka. Kulihat Dara membantu Nino bangun dengan susah payah karena badannya yang segede algojo itu jauh dari kekuatan istri mungilku.

"Kasian dia tidur dilantai gini. Bantuin dong sayang," mau tak mau aku ikut membantunya juga. Ini buat Dara, kalo ngga karena dia ngga minta tolong aku ngga bakal mau mengangkat badan besarnya ini ke sofa.

"Harusnya aku yang pergi...bukan...bukan kamu." Nino mengigau dalam tidurnya. Kulihat muka merahnya mengkerut seperti menahan sakit. Apa yang sebenarnya terjadi pada dia. Selama bertahun-tahun aku mengenal Nino, belum pernah aku melihat dia kelihatan sehancur ini. Akhir-akhir ini dia memang hampir menutup rapat kehidupan pribadinya dari kami. Aku sudah menyadari, hanya saja aku lebih memilih menunggu dia untuk menceritakannya sendiri.

"Kamu tidur aja gih. Ini udah malam sekali. Biar aku yang jaga mereka disini," Dara mengangguk, mencium pipiku sekilas dan berjalan ke kamar. Kunyalakan TV didepanku dan memutuskan untuk begadang malam ini sambil sesekali merapikan posisi tidur mereka yang tak beraturan.

***

Zevan terbangun oleh suara TV yang ternyata masih menyala saat dia tertidur, dilihatnya Andra, Alan dan Nino masih terlelap. Pelan-pelan dia berjalan ke kamarnya, takut membangunkn Dara. Tapi ternyata istrinya itu sudah lebih dulu bangun darinya dan baru selesai mandi. Senyum terkembang di wajah Zevan melihat handuk putih yang masih melilit tubuh basah Dara. Dia tahu sekarang mereka punya kesempatan untuk melanjutkan kegiatan yang tertunda tadi malam.

"Mereka?" tanya Dara, mundur selangkah saat Zevan mendekat dan menarik lepas handuknya.

"Mereka ngga akan bisa mengganggu kita kali ini," dengan cepat Zevan meraih tubuh Dara dan membawanya ke kasur sebelum menghujaninya dengan ciuman di seluruh tubuhnya. Mata hitamnya sudah melebar dengan hasrat tergambar jelas di sana. Sekali lagi Zevan melumat bibir Dara dengan lama.

"Kamu lupa ngunci pintunya sayang,"

***

Selesai mandi untuk yang kedua kalinya, Dara mengiapkan sarapan untuk Zevan dan ketiga sahabatnya yang melahap habis makanan dipiring mereka hanya dalam hitungan menit.

"Pantesan lo betah dirumah Van, bini lo jago masak begini ternyata." puji Alan sambil menyodorkan piring kosongnya ke Dara minta tambah.

"Ambil sendiri, lo pikir gue bini lo?" tolak Dara dengan senyum tertahan melihat muka masam Alan.

"Bagus sayang, omelin aja. Enak aja minta dilayanin sama bini gue." Alan melempar Zevan dengan kacang polong, tapi meleset dan mengenai Nino yang dari tadi diam saja sambil sesekali mengurut-urut pelipisnya.

"Makanya, kalo ngga biasa mabuk-mabukan, ngga usah nyoba-nyoba mabuk. Pening kan lo?" Andra menyodorkan aspirin dan air putih ke tangan Nino.

"Lo kenapa sih No? Kalo emang ada masalah, cerita ke kita." dia hanya menanggapi ucapan Zevan dengan senyum tipis, tak ada sedikitpun niatnya untuk bercerita saat ini.

"Kalo gue udah ngga bisa nampung sendirian, ada saatnya nanti gue cerita ke kalian."

"Kita sebagai sahabat lo, khawatir No kalo liat lo begini." ucap Alan, kali ini dia benar-benar serius saat mengucapkannya.

"Saat ini gue ngga papa. Kalian ngga usah khawatir,"

"Saat lo merasa diri lo ngga kuat menahan apapun itu masalah lo, kami akan siap mengulurkan tangan buat bantu lo."

***

Did I Love My Maid (Silver Moon series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang