Bab 22

40.6K 1.9K 5
                                    

Tubuh mungil yang tergeletak lemah di pinggir jalan itu sangat Zevan kenali. Dia langsung menghambur keluar bahkan sebelum Andra benar-benar menghentikan mobilnya. Siapapun pasti akan sedih melihat keadaan Dara. Zevan segera berlari menghampirinya,

"Dara!!!" di saat kondisinya seperti ini, Dara masih bisa tersenyum pada Zevan sesaat sebelum dia benar-benar menutup matanya. Zevan ketakutan dan sekali lagi berteriak.

"Ayo kita bawa dia Zevan, sebelum terlambat. Keadaannya benar-benar kritis," Nino memapah Zevan dan Alan mengambil tubuh Dara dari pelukannya. Membawa keduanya ke dalam mobil.

"Apa yang lo lakuin?" tanya Alan waktu melihat Zevan melepaskan baju Dara dan memakaikan jaketnya sebelum memeluk tubuh lemah itu dengan erat, berusaha memberi kehangatan untuknya.

"Kamu harus bertahan Dara." bisiknya ditelinga Dara, berharap cewek itu masih bisa mendengarnya. Andra semakin melajukan mobil yang mereka tumpangi, mereka harus secepatnya sampai di rumah sakit sekali lagi.

***

Zevan POV

Aku hanya bisa memandang tubuh lemahnya disana, dengan selang yang langsung dipasang sampai ke tenggorokannya, membantu untuknya bernafas dan juga beberapa kabel untuk memantau detak jantungnya yang masih sangat lemah. Dia mengalami hipotermia dan juga dehidrasi. Kondisinya masih kritis saat ini dan sekarang sudah hari kelima dia menutup rapat matanya. Maafkan aku Dara. Semua ini salahku. Aku ngga mau harus kehilanganmu. Bertahan sayang, aku membutuhkanmu disini.

"Masuklah. Dia pasti pengen lo disampingnya, bawa dia kembali Zevan." Nadia menggenggam tanganku. Aku semakin merasa bersalah melihatnya seperti ini. Seharusnya Nadia memakiku sekarang, bukannya malah begini. Akulah yang menyebabkan adiknya begini.

"Gue emang ngga tau ada masalah apa sama kalian, tapi sejak dia ngga masuk kerja kemarin, dia benar-benar berubah. Dari luar dia memang kuat, tapi gue tau dia sakit. Gue sering dengar isakan tangis yang selalu berusaha dia tahan hampir tiap malam. Lo harus bisa menyelesaikan masalah kalian, karena itu lo harus bawa dia kembali." Aku tahu sudah banyak tangis yang Nadia keluarkan. Matanya bengkak. Kakak mana yang sanggup melihat adiknya dalam keadaan kritis seperti ini. Aku sendiri bahkan tak sanggup melihatnya dari dekat. Perasaan bersalahku terlalu besar untuk berani menyaksikan orang yang kucintai terbaring lemah karena kebodohanku. Sebutlah aku pengecut sekaligus pecundang saat ini.

"Gue ngga sanggup Na,"

"Lo mau gue pukul lagi supaya sadar Van?!!" kali ini ada Nino, Alan juga Andra yang baru datang dan mereka tahu aku terus berada di sini selama berhari-hari tanpa berani masuk ke dalam sana.

"Gue ngga sanggup," tolakku masih belum yakin apa aku sanggup melihatnya.

"Kalo lo ngga sanggup, kenapa lo malah berdiri disini mandangin dia dari jauh. Cukup Zevan, kebodohan lo cukup sampai disini aja. Jangan sampai lo sekali lagi menyesal." aku tahu mereka semua benar. Dan aku memang bodoh.

Kuberanikan kakiku melangkah memasuki ruang ICU tempat Dara dirawat, dan mendekatinya yang masih tetap menutup matanya. Aku mengambil tangan yang biasanya membelaiku yang sekarang terlihat begitu mungil dengan perban membalut lukanya disana. Dokter bilang dia kehilangan cukup banyak darah hari itu akibat beberapa luka iris yang mengnai nadinya disana. Wajah cerianya yang biasa tersenyum sangat manis sekarang terlihat sangat pucat. Aku tak kuasa menahan tangisku untuknya. Rasanya benar-benar sakit Dara, melihat kamu begini.

"Aku ngga akan minta maaf sama kamu atas semua kesalahan dan kebodohan yang kulakukan sekarang Dara." kuraih tangan lemahnya dan membawanya untuk kukecup. Aku bisa mencium sedikit aroma manis di sana bahkan saat dia berada disini.

Did I Love My Maid (Silver Moon series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang