Satu sisi ingin pergi, satu sisi lagi tidak ingin.
Itulah keruwetan yang tengah menghimbau keadaanku malam ini. Malam yang di tunggu-tunggu oleh anak SMA nusa bangsa Jakarta, tak lain rumah keduaku saat pagi hari.
Prom night yang akan segera berlangsung, sanggup meluluh-lantakkan pikiranku. Dimana, saat aku harus memilih dan memakai baju yang sesuai dengan tema, lalu berdandan hingga parasku terlihat berkilauan bak pecahan keramik, lantas membuat wajahku terasa tebal bagai orang bermuka dua.
"Udah cantik, lho," protes Bunda padaku yang bolak-balik melihat cermin.
Mungkin bagi sebagian orang berpikir. Aku mengagumi diri sendiri yang telah di poles ini-itu.
Padahal ...
"Risih banget," timpalku menjauh dari Bunda dan temannya yang jago merias.
Yah, demi mengubah penampilanku. Bunda rela menyuruh teman yang hobinya merias datang ke rumah.
Pekerjaan teman Bunda memang tukang rias. Hal demikian wajar, tetapi yang mirisnya...
Dia perias mayat.
***
"Vote ... Vote ... Cepat vote sebelum pemilihannya di tutup!" seru Jennie bersama kumpulan andalannya.
"Naylis memang cocok buat Roy, sih, tapi..."
"Tapi apa?" tanya Jennie dan Cindy bersamaan pada Mona.
"Ngak jadi, deh," geleng Mona, lanjut menggerakkan jari di atas layar gadgetnya.
"Btw, ada yang vote Najwa juga tuh," lontar Cindy dengan gurat malas.
Jennie melirik, " Ngak banyak ... Gue bisa tenang."
"Intinya yang lebih utama anak kelas tiga, kan?" Mona kembali berpendapat.
"Hm." Yang lain hanya berdehem saja.
***
Ting...Tong...
Orang yang di dalam, memasang kuping dengan cermat.
"E, eh. Udah datang ... Cepatan bukain pintunya!" Bunda dan temannya mengusirku dari tempat.
Sedikit berdebar-debar, kala mengingat penampilanku yang entahlah di mata orang-orang. Salah satunya di mata orang yang akan kubukakan pintunya sekarang.
"Sudah siap?"
Pertanyaan orang yang berdiri di ambang pintu tak segera kujawab. Bibirnya tersenyum ke arahku.
Sekilas, menelisiknya dari ujung ke ujung. Keajaiban terjadi. Dia hampir mirip dengan aktor Jepang favoritku.
Lupa akan pendapatnya mengenai penampilanku. Aku menjawab, "Sudah."
Dia menggenggam tanganku. "Kita telat, lho."
"Hm, masa sih?" dehemku mengikuti langkahnya.
"Ngak masalah, pemeran utama memang kebiasaan telat, kan?"
Aku tersungging, "Jadi, kamu pemeran utamanya, nih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuek & Pendiam
Teen FictionYang satu Cuek, dingin, irit bicara, acuh tak acuh. Yang satu lagi Pendiam, pemalu, lugu nan polos. Apa jadinya jika mereka berdua terikat suatu hubungan ??? Hubungan pertemanan ...!! Bukan !!! Tetapi lebih dari sekedar teman. Tepatnya hubungan 'Pa...