Sudah dua hari berlalu.
Semenjak kejadian malam itu, Aeryn sama sekali tidak mengajak Hansung untuk berbicara. Bukan berarti ia tidak mau, melainkan ia hanya merasa bersalah. Cukup malu kepada Hansung karena selama ini ia masih belum bisa mencukupi uang untuk kebutuhan hidup mereka berdua.
Gaji Aeryn sebagai seorang bartender mungkin saja sudah cukup untuk kebutuhan hidupnya dengan Hansung. Namun selama ini ia terbebani dengan hutang-hutang yang ditinggalkan oleh ibunya. Sebagai tulang punggung keluarga, sudah kewajiban Aeryn untuk melunasi semua hutang-hutang ibunya. Jika bukan dia, memangnya siapa lagi? Ibunya telah lama meninggal. Sementara sang ayah, Aeryn tidak tahu dimana keberadaannya. Mengetahui apakah dia masih hidup atau tidak, Aeryn saja sama sekali tidak mengetahuinya.
Ingin rasanya Aeryn mengadu kepada Tuhan, betapa beratnya hidup yang ia jalani bersama adiknya saat ini. Ingin menyalahkan Tuhan kenapa ia harus berada di posisi yang seperti ini–hidup tanpa kedua orang tua di sisinya. Namun sekali lagi Aeryn menyadarkan dirinya, bahwa ia sama sekali tidak berhak mengaduh sekaligus menyalahkan seperti itu. Di luar sana masih banyak orang-orang yang hidupnya jauh lebih sulit daripada dirinya, maka yang harus Aeryn lakukan saat ini adalah cukup bersyukur. Mensyukuri semua yang ada bukanlah hal yang buruk untuk dilakukan.
Aeryn memandangi foto dirinya bersama dengan Hansung melalui benda panjang pipih miliknya. Jujur saja ia begitu sangat merindukan Hansung sebab selama dua hari terakhir ini ia sama sekali tidak berbicara kepada Hansung. Padahal Hansung selalu mengajaknya berbicara, ia meminta maaf dengan segala cara, tetapi sampai saat ini Aeryn masih mendiamkannya. Bukan karena ia tidak bisa memaafkannya, melainkan karena rasa bersalah Aeryn pada dirinya sendiri.
Ia begitu sangat menyayangi Hansung. Apapun yang ia lakukan itu semua demi adik semata wayangnya tersebut. Itu sebabnya ia sangat marah saat mengetahui Hansung melakukan pekerjaan paruh waktu demi membantu dirinya yang mencari uang.
Selain menjadi seorang adik satu-satunya, Hansung adalah seorang teman bercerita bagi Aeryn. Asal kalian tahu selama ini Aeryn tidak memiliki cukup banyak seorang teman. Sepanjang waktunya ia habiskan untuk bekerja mencari uang demi kehidupan yang layak. Maka itu sebabnya ia sama sekali tidak ada waktu untuk mengobrol dengan seseorang, lalu menjadikannya sebagai seorang teman.
“Choi Sohee? Tumben sekali kau datang kesini,”
Aeryn menoleh sekilas dan mendapati seseorang yang sangat ia kenal–Park Jimin, tengah berdiri di hadapan seorang gadis yang ia ketahui bernama Choi Sohee–sebab Jimin tadi menyebutkan namanya. Gadis itu–Choi Sohee, ia tersenyum saat Jimin tadi bertanya mengenai kehadirannya. “Memangnya aku tidak boleh kesini?”
“Kim Taehyung menyewamu?”
Aeryn menyunggingkan senyum tipis saat lagi-lagi telinganya tak sengaja mendengar perbincangan mereka berdua. Jimin yang menyebutkan nama seorang Kim Taehyung membuat Aeryn teringat bahwa terakhir kali pertemuan mereka berdua adalah kemarin siang. Taehyung datang ke rumahnya dengan membawa selembar kertas yang berisikan persyaratan-persyaratan untuk ia tanda tangani. Selain itu, Taehyung kemarin sempat menasehati dirinya untuk tidak terlalu keras terhadap Hansung.
Taehyung melakukan hal yang sama seperti saat pada malam itu. Saat Taehyung telah berhasil membawa Aeryn sekaligus Hansung untuk pulang ke rumah. Sebelum Aeryn masuk ke dalam rumahnya, Taehyung sempat berkata. “Jangan terlalu keras terhadap Hansung, Aeryn-ah.” seperti itu. Dan posisinya malam itu hanya ada mereka berdua di depan halaman rumah, karena Hansung yang terlebih dahulu sudah masuk ke dalam rumah.
Malam itu Aeryn hanya mengangguk mengerti, ia menerima nasehat dari Taehyung. Lantas sebelum berpamitan untuk pulang, Taehyung sempat memberi sesuatu kepada Aeryn. “Aku tadi berhenti untuk membeli makanan ini. Bukan untukmu, tapi untuk Hansung. Ingat, Cantik. Kau tidak boleh memakannya. Kau sudah memakan banyak makanan di rumah ayahku tadi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
PIECES | KTH
Fanfiction[𝐁𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐝𝐢𝐫𝐞𝐯𝐢𝐬𝐢] "Aeryn, mau menikah denganku tidak?" Berawal dari keisengannya yang bermain-main di tempat mewah milik Park Jimin hanya untuk menenangkan pikirannya, alasan klasik memang. Tetapi siapa sangka jika alasan klasik itu mamp...