Memiliki pantai dengan pasir putih yang bersih, gunung berapi, perkebunan emas bunga canoli, katanya Pulau Jeju adalah destinasi favorit untuk bulan madu. Tetapi kedatangan Jimin ke sini sejak tiga hari yang lalu tentu saja bukan untuk menikmati keindahan itu semua apalagi melakukan bulan madu seperti yang sudah disebutkan.
Jangan konyol dan jangan melawak, Park Jimin masih seorang pria lajang yang belum mau memiliki seorang kekasih apalagi membangun sebuah hubungan rumah tangga. Sementara itu eksistensinya di sini semata-mata hanyalah untuk mengajak seorang pria yang beberapa bulan lalu telah kejutkan seantero Korea Selatan dengan berita kehilangannya atau kematiannya yang jatuh dari pesawat, apapun itu Jimin benar-benar lega tatkala ia mendapatkan telepon dari nomor tidak dikenal, kemudian saat mengangkatnya dan mengenali siapa pemilik suaranya, dia benar-benar ingin melakukan sujud syukur detik itu juga.
Sahabatnya Kim Taehyung itu masih hidup, benar-benar hidup dan ini semua adalah kabar baik untuk Aeryn yang semenjana berada di Seoul dengan kondisi yang masih sama.
Bukan Jimin tidak ingin memberitahunya, tetapi waktu itu dia memang sangat buru-buru untuk langsung mendarat ke Pulau Jeju. Memastikan apakah semuanya memang benar-benar kenyataan, sebab rasanya ini seperti sebuah mimpi yang jauh dari kata kenyataan.
"Ini sudah empat hari sejak kedatanganku, Tae. Apa kau masih belum ingin pulang?"
Cuaca di luar sana cukup panas, melebihi musim panas di Seoul biasanya. Tidak heran mengapa selama ini banyak orang-orang yang menyebut bahwa Jeju adalah hawainya Korea. Sementara masih belum menjawab pertanyaan Jimin barusan, Taehyung membiarkan pria itu untuk mengambil duduk tepat di sampingnya seraya menatap bibir pantai yang berada sangat jauh dari pandangannya.
Setelah jatuhnya pesawat itu, ah, tidak. Setelah seseorang berhasil menolongnya dan ia seperti mendapatkan keajaiban dari maut, Taehyung tidak tahu mengapa ia membawa dirinya untuk berada di sini dan membiarkan Aeryn yang tengah menanti dengan sedikit kewarasan yang masih tersisa dalam dirinya. Jika ditanya apakah dia merindukan wanita cantiknya itu, tentu saja Taehyung teramat begitu merindukannya sampai mau gila rasanya. Akan tetapi di sisi lain, Taehyung tak menampik satu hal bahwa dirinya — yang saat ini — seperti bukanlah dirinya yang sebenarnya.
Taehyung merasakannya sebab ketika ia membawa ingatannya kembali pada beberapa keping kilasan yang pernah ia lihat dan kini telah tersusun rapi di dalam benak kecilnya, perasaan bersalah sekaligus takut mendadak kuasai dirinya kemudian memberikan rasa sakit yang begitu teramat dalam hatinya.
"Senira dan Hwang Ae," suaranya mulai terdengar, dan Jimin yang ada di sampingnya setia menanti kalimat selanjutnya. "Aku benar-benar merasa sangat berdosa pada mereka hingga aku takut untuk menemuinya, Jim."
Jimin tak membutuhkan waktu yang lama untuk mencerna semuanya sebab jauh sebelum Taehyung menceritakannya, ada beberapa potong kilasan yang — dulu sekali — sempat hadir dan memenuhi isi kepalanya, memberikan banyak tanya yang berakhir tak temukan jawabannya.
Kala itu, setelah Aeryn bertanya pada dirinya siapa Senira dan Lee Wang Tae sebenarnya, Jimin kembali teringat pada sosok mereka yang selama ini hantui dirinya melalui bunga tidurnya.
Belum lagi Soo Hyun.
"Aeryn bukan mereka berdua, Tae. Kau tak perlu takut untuk menemuinya," Jimin berikan jawabannya. Dia jelas tahu betul sekaligus menyadari bahwa susunan alfabet yang keluar dari belah bibir Taehyung jauh dari kata sempurna, maksudnya pria itu benar-benar kehilangan cara berpikirnya sebab rasa bersalah lebih mendominasi dirinya.
"Tapi mereka—" Taehyung tak tuntaskan kalimatnya lantaran Jimin yang tiba-tiba memotongnya. "Ya, aku tahu. Senira ataupun Hwang Ae, mereka berdua memiliki wajah yang sama persis dengan Aeryn. Mereka seolah-olah kembar."
KAMU SEDANG MEMBACA
PIECES | KTH
Fanfiction[𝐁𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐝𝐢𝐫𝐞𝐯𝐢𝐬𝐢] "Aeryn, mau menikah denganku tidak?" Berawal dari keisengannya yang bermain-main di tempat mewah milik Park Jimin hanya untuk menenangkan pikirannya, alasan klasik memang. Tetapi siapa sangka jika alasan klasik itu mamp...