"Aku suka sama kamu.."
Aku berucap lantang sambil menatap lurus pada lelaki jangkung yang tengah bersiap untuk men-shoot bola basket yang ada di tangannya. Gerakannya sempat terhenti selama beberapa detik, tapi kemudian dengan santai ia melemparkan bola itu melambung cantik ke arah ring basket yang ada beberapa meter di hadapannya dan masuk dengan mulus. Three Point.
Lelaki itu lalu menoleh ke arahku, melangkah perlahan mendekatiku. Dadaku berdebar ketika langkahnya terhenti sekitar setengah meter di hadapanku. Aku harus mendongak agar bisa melihat matanya, karena dia tinggi banget.
Saat mata kami bertemu, hanya tatapan datar yang kulihat di sana.
"Jangan.." jawabnya pendek.
Aku mengernyit bingung.
"Jangan apa?" Tanyaku tak mengerti
"Jangan suka aku." Balasnya tenang, terlalu tenang malah, kayak kami lagi bahas tentang cuaca, bukan bahas tentang perasaanku.
"Tapi kenapa?" Perasaan sakit mulai merayap di hatiku. Rasa percaya diri yang tadi begitu menggebu kini mulai surut.
Perlahan satu tangannya terangkat naik,mengacak rambutku yang basah oleh peluh karena baru saja menyelesaikan satu game pertandingan basket one on one dengannya yang menguras tenaga.
"Karena kamu adikku, dan akan selalu seperti itu," ucapnya tegas.
Bullshit. Aku bukan adiknya. Dan nggak akan pernah jadi adiknya. Itu cuma ucapan manisnya untuk menolak perasaanku. Perasaan cinta yang ku punya sejak pertama kali aku melihatnya. Tapi ternyata dia nggak punya perasaan yang sama.
Aku memejamkan mata, berusaha menahan air mata yang hendak menetes keluar. Ternyata patah hati itu menyakitkan. Ternyata cinta bertepuk sebelah tangan itu menyedihkan.
"Ok. Aku ngerti," hanya itu yang mampu kuucapkan sebelum berbalik lalu berlari keluar dari lapangan basket di kompleks perumahan kami.
Aku mengambil sepedaku yang terparkir di sebelah sepedanya lalu mengayuhnya cepat. Aku cuma ingin pulang dan menumpahkan tangisku di kamar. Meratapi cinta pertamaku yang kandas bahkan sebelum mulai berkembang.
**********
"Dek ayo sarapan, nanti telat," suara Mama memanggilku nyaring.
Aku menghela napas berat, memandang wajahku yang pucat dengan mata sembab di cermin kamar. Gimana ini? Semalaman aku menangis. Dan penyebab air mataku mengalir tiada henti sekarang pasti sudah ada di bawah, ikut sarapan seperti pagi-pagi biasanya. Malu banget. Males juga lihat wajahnya. Gimana bisa move on kalau tiap hari dia nangkring di rumah.
Aku melirik jam di dinding. Udah hampir jam enam pagi. Bakalan telat kalau aku nggak segera turun.
Rhea Amelia Pranoto, ayo jangan cengeng, jangan jadi pengecut. Sampai kapan kamu mau menghindarinya kalau hampir tiap hari dia berkeliaran di sekitar rumah?
Aku menarik napas, menghembuskannya perlahan, merapikan seragam putih abu-abuku lalu mencangklong tas ransel biru navy hadiah dari dia saat ulang tahunku ke 17 bulan lalu.
Pengen buang tas ini ke tong sampah tapi sayang banget rasanya. Belum ada gantinya juga, lagian tas ini bagus banget, keren, suka modelnya, suka warnanya. Kok bisa sih dia tahu banget seleraku.
Aku mendengus kesal. Gimana aku nggak jatuh cinta coba kalau dianya ngertiin aku banget.
Aku menyeret langkahku keluar kamar lalu menuruni tangga yang langsung tersambung ke ruang makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mungkin Suatu Hari Nanti
RomantizmRhea, seorang gadis remaja mencintai Satria, sahabat kakaknya yang tinggal di rumah sebelah. Tapi, cintanya ditolak karena Satria punya trauma masa lalu akibat tumbuh di keluarga berantakan yang membuatnya tidak percaya akan cinta. Kisah mereka berl...
Wattpad Original
Ada 8 bab gratis lagi