9. Bugenvil [Bimbang]

16 7 3
                                    

Pahit dan asam tapi mencandu. Kau tahu apa itu? Kopi. Americano tepatnya. Saat aku menyesapnya, rasa yang pertama kali terkecap adalah pahit dan diakhiri oleh asam, tapi itulah candu bagiku. Dan kau sama seperti kopi, kau canduku, sampai waktu yang tak bisa kuprediksi, kaulah candu hidup bagiku. Selamat pagi!

Queen membaca pesan itu dalam hati. Pesan yang ia sendiri tidak tahu siapa pengirimnya. ‘Heh. Klise. Siapa ini?’

Queen meletakkan ponselnya kembali di nakas. Ia duduk bersandar pada kepala kasurnya, menengadahkan kepalanya di sana. Tiba-tiba ponselnya bergetar, Queen menoleh memiringkan kepalanya. Ia meraih ponsel itu dan melihat nama yang tertera di sana. Rama. Tanpa menunggu lama, ia menggeser lambang yang ada di ponselnya ke arah kiri. Reject. Tak lama kemudian Rama mengirim pesan dan Queen menarik sudut bibirnya. Ia membaca isi pesan itu dengan cermat. ‘Selalu merepotkan. Dasar Rama.’

*

Rama datang menjemput Queen jam 11 siang. Ia ingin bertemu dengannya dan tentu saja mengajak pergi ke suatu tempat.

“Maaf aku mengganggumu.”

“Kalau tahu, kenapa menelpon?”

Rama memasangkan seat belt untuk Queen. “Takut kesiangan. Kau ‘kan seperti kebo.”

“Hei!” Queen melotot kesal.

Rama tertawa singkat lalu meminta maaf. Ia melihat Queen berpaling ke kiri dengan raut wajah yang ditekuk.

“Jarang-jarang aku melihatmu ngambek. Lucu juga.”

“Rama! Tidak lucu.”

Rama mengangguk kecil. “Oh, ya, tumben tidak bertanya kita akan ke mana.”

Queen mendesah, “Nanti juga tahu sendiri. Oh! Apa kau punya nomor baru?”

“Aku hanya punya dua nomor. Satu pribadi, satu kantor. Dan kau tahu keduanya.”
Queen mengernyit.

“Ada apa? Ada yang mengganggumu?”

“Tidak mengganggu. Hanya saja, ya begitulah.”

Rama mengernyit. “Begitu bagaimana?”

“Sudah fokus saja ke jalanan. Aku tidak ingin mati muda.”

Rama memutar bola matanya. Jengah dengan sikap Queen. Perempuan itu memang sulit sekali membuka diri.

*

Udara yang sejuk, pegunungan yang tampak menghiasi kiri-kanan jalan, sinar rembulan pun tampak menemani perjalanan dua insan. Meskipun si perempuan tampak terlelap, si pria tak henti-hentinya tersenyum sambil sesekali melirik si perempuan dengan wajah damainya itu.

Nghh,”

Masih fokus menyetir. Lenguhan perempuan itu tampak menyita sedikit perhatiannya. Sejenak, ia melirik dan mendapati si perempuan sudah terjaga.

“Ram, jangan bilang kau menculikku.”

Rama tertawa. “Rugi menculik perempuan yang kebo sepertimu.”

Queen mencebik. Baru saja bangun tidur tapi sudah diledek kebo lagi. “Kau saja yang ayam.”

“Biar. Setidaknya ayam itu rajin, bangun selalu pagi, dan sangat melindungi anaknya.”

Queen memutar bola matanya jengah. “Filosofi macam apa itu? Kau bahkan tidak punya anak.”

Rama keluar dari mobil dan menutup pintu mobilnya dengan sekali hentakan. Kemudian Ia beralih ke arah sisi mobil lainnya dan membukakan pintu untuk Queen.

“Ayo turun dan masuk. Ini vila milikku. Hasil kerja kerasku.”

Queen melangkah turun dan mengikuti kemana kaki panjang Rama membawanya. Dia ‘kan kaya. Rama menggenggam tangan Queen dengan erat. Raut wajahnya tampak berseri.

“Kau sudah bilang ke mami? Jangan sampai aku dibawa paksa oleh ajudannya.”

Rama mengangguk paham. Tentu saja Rama lebih pandai soal hal ini. Ia bahkan sudah meminta izin sejak lusa kemarin. Rama menunjuk dan memberitahu dimana kamar milik Queen. Queen tidak tahu kalau kamarnya ternyata berbeda dengan Rama. Ia pikir pria itu hanya ingin senang-senang di kamar.

Queen membuka pintu kamarnya. Atensinya jatuh pada sebuah figura yang bertengger apik di atas kepala kasur itu. Figura sebuah keluarga yang lengkap. Ayah, ibu, dan 3 orang anak. Queen menebak bahwa anak yang paling tinggi itu adalah Rama saat kecil. Dikarenakan wajah anak itu sangat mirip dengan Rama yang sekarang. Lalu ada wajah tegas ayahnya yang tampak memancarkan aura seram meskipun di dalam foto. Ada pula sang ibu yang berwajah seperti malaikat, senyumannya begitu lembut. Dan dua orang adiknya, mungkin kembar, karena keduanya terlihat sebaya dan wajahnya sangat identik.

Queen beralih. Ia membuka jendela yang bisa digeser. Kakinya melewati jendela tersebut dan lengannya bersandar pada pagar pembatas di sana. Matanya terpejam selaras belaian udara malam yang datang menyapa tubuhnya.

“Hei. Jangan melamun.”

Sontak Queen membuka matanya. Ia terkejut dan menoleh ke sumber suara. “Aku hanya menikmati angin malam. Sudah lama sekali aku tidak merasakan udara seperti ini di kota.

“Kalau begitu kau berhutang satu padaku.”

Queen mendelik tajam. Sungguh, ia tak suka kata berhutang.

“Baiklah. Agar impas, buatkan aku makanan, aku lapar, Queen. Aku tunggu di meja makan ya.”

Rama beranjak dari kamar Queen dan menunggu di meja makan. Perihal lapar, Rama tak berbohong. Sementara itu Queen tampak tersenyum samar. Ada rasa hangat yang memeluk hatinya. ‘Nek, aku harus bagaimana sekarang?’

To be Continue

Hai!
Apa kabar klian?
Mksih y buat yg udah bca cerita ku

Klo ada typo atau saran bisa komen langsung oke~

See you on the next chapter
Bubye~

1 APRIL : Queen-Athala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang