17. Poppy [Pahlawan 2]

4 3 0
                                    

Rama mendesah, ia menerawang kembali ke masa tersesatnya dulu. “Aku jalan kaki dari bandara, niat hati ingin naik transportasi umum, tapi aku tak tahu bagaimana caranya. Indonesia dan Jerman berbeda sekali. Alhasil, aku hanya berjalan kaki mengikuti peta. Kau tahu? Kakiku rasanya mau copot. Aku memutuskan untuk berhenti sejenak saat melihat supermarket yang ada di sekitar perumahan di jalan Ackermanstraße untuk membeli minumku yang habis.”

Rama beranjak ke arah dapur guna mengambil minum. Bukan mocktail atau sejenisnya, hanya air mineral saja –satu gelas--. Queen juga terus mengekorinya karena takut melewatkan sesuatu.

Rama membawa botol berisikan air mineral dengan gelas kosong di tangan kanannya. Ia duduk lesehan dan bersandar pada sisi kayu kasur Queen. Queen pun mengikuti dan menatap dengan pandangan menunggu.

“Di sanalah aku bertemu ayahmu, penyelamatku. Beliau menatapku bingung saat akan membayar karena aku hanya menggunakan gerak tubuh tanpa bicara. Kau tahu, bodohnya aku karena lupa bahwa google bisa menerjemahkan segala bahasa. Haha.” Rama melirik Queen yang sama sekali tidak tertawa. Matanya menyiratkan kerinduan mendalam. Itu cukup membuat Rama kembali serius bercerita.

“Karena melihatku yang begitu, ayahmu, tuan Ehren, bertanya padaku dengan bahasa Indonesia yang cukup bagus. Aku terkesima saat ia membalas umpatanku karena tidak paham bagaimana cara membuka kaleng minuman. Lucu sekali.”

“Itu sih bodoh. Bukannya semua bentuk kaleng minuman dan cara membukanya sama saja ya?” Queen mendecak, meremehkan pola pikir Rama.

“Dan lagi, kau ini ‘kan akan menempa ilmu di Jerman, bagaimana bisa kau tak paham bahasanya? Memangnya kau tidak mengikuti kelas bahasa terlebih dahulu? Dasar ceroboh.” Queen menambahkan sindiran. Rama hanya mendesis dengan kening yang berkerut sedikit. Tajam sekali mulutmu, Queen.

“Kalau kau mengataiku begitu, aku hentikan saja ceritanya.” Rama mengancam dan Queen melotot padanya. Rama pun hanya tertawa dan melanjutkan ceritanya.

“Biar kujelaskan, sayang. Kaleng itu keras sekali jadi aku kesulitan membukanya. Lalu soal pelajaran bahasa, aku mengikutinya kok meskipun bisa dihitung jari. Memang sih aku hanya tau beberapa kalimat saja. Tapi yah, intinya aku tetap lulus dan bisa ke sana. Lagipula aku ada di Jerman tiga bulan sebelum tahun pelajaran baru dimulai. Aku itu pintar, ingat ‘kan?”

“Ya, ya, ya. Lanjutkan saja ceritanya.” Queen mengibaskan tangannya di depan wajah cantiknya.

“Intinya beliau bertanya aku ingin ke mana dan menawariku menginap di sana. Kebetulan rumahnya ada dekat dengan supermarket yang dikelolanya. Jadi, aku menginap karena hari sudah mulai gelap dan esoknya beliau mengantarku ke asrama. Ia jadi harus menutup tokonya setengah hari, aku jadi tak enak hati. Beliau baik sekali...  benar-benar pahlawanku. Oh ya, Tuan Ehren juga pernah bercerita bahwa ia memiliki keluarga di Indonesia dan akan kembali suatu saat nanti. Kau tahu, beliau sendirian dan sangat kesepian. Aku bisa melihatnya karena aku juga merasakannya.”

Queen terbawa suasana, ia membekap mulutnya agar isakannya tidak terdengar. Namun, Rama yang ada tepat di sebelahnya sudah pasti mendengar dengan jelas. Deru nafas Queen tidak teratur dan tubuhnya bergetar acak. Rama mendekap tubuh gadisnya, mengusap punggungnya, menenangkannya.

“Tanggal 13 hanya seminggu lagi, bersabarlah Queen. Kau akan bertemu ayahmu.”

***

Queen membuka kembali pesan singkat seminggu yang lalu. Kembali saat ia bertanya nama peneror itu. Athala. Tepat sekali dugaannya. Akhirnya ia mengetahuinya bahwa peneror itu memang Athala. Firasatnya memberikan kebenaran. Saat peneror itu mengiriminya sajak yang sangat apik, ia kerap kali berspekulasi bahwa peneror itu adalah Athala dan bukan Rama. Gaya bahasa yang mereka tunjukkan berbeda. Queen tidak bodoh untuk membedakan itu, hanya saja terkadang ia memerlukan penyangkalan. Satu hal yang ada di benaknya. Dari mana Athala tahu nomor ponselnya?

1 APRIL : Queen-Athala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang