Athala beringsut turun dari kasurnya yang nyaman. Dengan setengah sadar, ia berjalan ke arah kamar mandi, membersihkan diri, dan berpakaian lengkap. Ia bergegas ke luar kamar setelah menerima telepon dari manajernya.
‘Ini waktunya,’ batinnya diikuti seringai yang muncul di wajah tampannya.
Manajer Athala sudah menunggu di sisi jalan tak jauh dari apartemennya. Wajahnya tampak sangat khawatir. Ia pun menatap artisnya yang memakai topi dan kacamata coklat muda. Athala terlihat santai meskipun langkah kakinya tampak terburu-buru menghampirinya.
Sesaat setelah Athala masuk, mobil itu melesat ke tengah keramaian jalan di kota besar. Athala menoleh. Wajahnya tampak kaku. Dinar yang fokus utamanya menyetir, mau tak mau melirik dan mendesah.
“Berdoa saja beliau tidak membuat kita sulit.”
Athala diam. Ia mengalihkan pandangannya keluar dengan beribu kosa-kata yang memenuhi kepalanya. Ia ikut mendesah, membayangkan masalah apa yang akan didapatnya. Setelah dua jam di perjalanan, mereka sampai di sebuah gedung yang tak begitu besar, tapi hidupnya seolah bergantung di sana.
Athala masuk ke sebuah ruangan bercat peach dengan interior klasik yang begitu kental. Ia mengalihkan pandangannya ke tengah ruangan, tepat di mana pemiliknya sedang duduk berpangku dagu, tak jauh di depannya. Lelaki paruh baya itu memberikan beberapa lembar kertas kepada Athala.
“Jelaskan padaku,” pinta lelaki itu.
Athala meraih bundel kertas di hadapannya dan membacanya dengan cermat. Selagi ia membaca, lelaki paruh baya itu bertanya pada manajer sang artis. “Kerjamu apa, Dinar?”
“Saya manajernya bukan ibunya, Pak Danu,” jawabnya dengan lugas. Lelaki paruh baya itu menggertakkan giginya kuat-kuat. Ia menatap pekerjanya dengan penuh jengkel. Dinar sendiri menatap balik bosnya dengan mantap, tanpa takut sama sekali. Ia melirik Athala yang duduk di sebelahnya. Ia pun membaca judul judul dari artikel yang diberikan bosnya.
“Bagaimana, Athala? Kau baru memulai karirmu... secepat itu bosan?”
Athala menghela napasnya perlahan. Ia melirik Dinar, mereka saling bertatapan seolah mereka sedang bertelepati. Kenyataannya mereka memiliki pemikiran yang berbeda. Dinar mengernyit. Ia melihat Athala tersenyum. Itu pertanda buruk. Dinar pun menggeleng. Ia mencoba menjawab pertanyaan yang dilontarkan bosnya dengan alasan yang tepat. Namun, Athala menyela ucapan Dinar. Dan itu semua terjadi begitu saja.
‘Tak masalah. Tabunganku sudah lebih dari cukup.’
Di sisi lain, di belahan dunia lain, Queen memandangi ponselnya. Ia masih menunggu. Dunianya terasa berhenti. Bukan karena ayahnya, bukan juga karena Rama. Kenyataannya mereka ada di dekatnya. Satu-satunya yang jauh adalah Athala, belahan jiwanya yang lain. Yang ia sadari, bahwa kini ia merindukan lelaki itu.
‘Dingin sekali.... Apa aku bisa bertahan saat musim dingin nanti? Ah....’
“Queen, kau melamun?”
Satu hentakan kecil di meja membuat pikiran Queen buyar. Ia melihat Alice berada tepat di depannya dengan sekaleng bir dingin. Mengingat ini bulan Oktober, warga Jerman yang mencintai bir biasanya akan merayakan Oktoberfest, yaitu pesta bir di daerah München. Namun, bisa juga dirayakan sendiri di rumah.
“Aku mau pergi ke Wiesn, kau mau ikut?” tawar Alice, sementara Queen mengernyit bingung. “Ah, maksudku ke pesta bir di daerah München. Pasti seru. Aku tak mau ketinggalan, pesta itu hanya berlangsung dua minggu saja.”
“Aku tidak suka bir, Alice. Lagipula München jauh dari sini,” sanggah Queen selagi memasukkan belanjaan Alice yang telah selesai di scan.
“Jauh apanya? Dekat kok. Kita bisa pakai tracht, yaitu baju tradisional Bavaria. Ah, aku ingin sekali ke sana memakai baju itu. Temani aku ya?” pinta Alice sekali lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
1 APRIL : Queen-Athala [END]
RomanceTepat pada tanggal 1 April, Athala dan Queen sama-sama melihat dengan jelas keberadaan masing-masing. Namun, tak ada satu pun yang berusaha maju. Queen lebih memilih berlari, sedangkan Athala hanya diam di tempat. Apakah mereka benar-benar menanti s...