19. Aster [Keyakinan]

4 2 1
                                    

Keheningan membalut tegangnya suasana suatu ruangan. Atmosfernya berubah menjadi canggung, menyatu dengan keheningan senja. Suatu kisah singkat tentang bagaimana sesorang hidup dalam rasa bersalah dan bersikeras untuk menemukan kembali pengampunannya. Perjuangan sedari nol hingga tetes darah terakhir, hanya tertuju padanya dan berdasar pada objek penyesalan yang dibuatnya sendiri.

Queen membalikkan badannya dan berjalan mendekati kaca. Seperti biasa, ia duduk di sisi dekat kaca yang mengarah pada pemandangan di bawah sana berniat menyembunyikan air matanya. Athala telah menceritakan kebenaran tentang ayahnya. Tak ada yang dinamakan menambah bumbu penyedap agar terasa gurih. Ia hanya bercerita sesuai fakta yang ia yakini akurat, 99 persen.

Athala duduk di sisi yang cukup jauh dari Queen. Ia tahu Queen sangat berduka mengingat sang ayah begitu baik pada Queen. Memperlakukan Queen layaknya anak sendiri. Bahkan karena terlampau sayang, ayahnya seringkali menawarkan Queen untuk sekolah. Namun, Queen selalu menolak dengan alasan Athala bisa menjadi guru untuknya.

Athala terdiam cukup lama. Ia menunggu hingga emosi Queen stabil. Queen sendiri tampaknya sudah cukup puas setelah hampir sepuluh menit merenung di sana. Kaki jenjangnya menapaki lantai dan berjalan mendekati Athala yang sedang berdiri di samping Ken.

“Meskipun Paman Mana berpesan begitu, rasanya aku tak bisa tinggal bersamamu. Itu tidak benar.”

Athala menatap Queen. Jemarinya mencoba meraih helai rambut bergelombang blonde itu. “Aku memaksamu karena aku yang bertanggung jawab atas dirimu. Kita masih sepasang kekasih dan pesan ayah membuatku harus bersikap seperti ini.”

Queen memijat pelipisnya, pening melanda kepalanya sejenak. Berbicara dengan Athala selalu membuatnya pusing. Ia melirik Athala yang menyentuh rambutnya. Dengan segera ia menghentikan gerakan tangannya dan menurunkannya perlahan.

“Dengar. Kurasa aku tak bisa memberimu jawaban minggu depan. Karena aku tidak berniat menjawabnya-”

‘Tidak sampai aku bisa memastikannya sendiri,’ lanjutnya dalam hati.

Athala menepuk puncak kepala Queen tiga kali. “Aku akan selalu menunggu bungaku untuk mekar. Saat itu pasti akan tiba.”

Queen melihat Athala beranjak ke luar apartemennya. Lututnya mendadak lemas sehingga ia harus tersungkur di lantai. Senyum terluka yang ditunjukkan Athala padanya mampu untuk melemaskan syaraf yang ada pada tubuhnya. Ia pun tak kuasa menahan sesak yang menjalar di dadanya. Ternyata, menyakiti jauh lebih menyakitkan daripada disakiti.

Queen duduk termenung di sudut sana seraya memandangi kenari kesayangannya. Ken pun bercicit dengan beberapa gerakan di kepalanya seolah mengajak majikannya bicara.

“Ya, Ken. Inilah aku.”

Queen beralih menatap layar ponselnya yang bergetar. Satu panggilan masuk dari Rama dan ia pun segera mengangkatnya.

“Halo, Rama....”

“Hai, Queen! Ada apa dengan suaramu? Kau menangis?”

Queen mendesah, “Tidak, aku sedikit tak enak badan.... Kau tak perlu ke sini.”

“Baiklah, aku menghubungimu untuk meminta maaf karena semalam tak bisa menjemputmu. Sekretarisku tiba-tiba memintaku datang ke kantor dan aku baru tiba di rumah jam 7 pagi tadi.”

Terdengar desahan panjang dari seberang sana. Tampaknya Rama sangat menyesal dan tak ingin Queen berpikir yang tidak-tidak tentangnya.

“Lupakan saja. Kau juga punya kehidupanmu sendiri. Pikirkan itu juga, Ram.”

Queen terkekeh ringan. Ia memang benar, seseorang yang belum terikat resmi pasti memiliki urusan masing-masing yang tak perlu orang lain ketahui.

“Ya, Queen. Kau beristirahatlah. Nanti aku sampaikan pada Madam Shu bahwa kau sakit. Jadi, kau tak perlu masuk kerja.”

1 APRIL : Queen-Athala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang