Queen duduk manis di depan rumahnya. Sang ayah sudah kembali membuka toko pagi itu. Jadi, tinggallah Queen berdua dengan Rama di rumah. Queen menerawang, ia bingung mengapa ayahnya mengucapkan calon mantu pada Rama kemarin sore. Ia mendesah dan memejamkan mata. Pikirannya melayang pada seseorang di belahan dunia yang lain.
‘Aku sendiri yang membuat semua ini menjadi sulit. Jadi, ayo jangan cengeng!’ batin Queen.
Rama melihat Queen duduk sendiri di bangku depan rumah. Ia menghampiri dan duduk di sebelahnya. “Ada apa? Memikirkan Ken? Tenang saja, asistenku akan mengurusnya untukmu. Lihat! Ini Ken.”
Rama menunjukkan ponselnya. Tampak Ken sedang makan biji-bijian favoritnya dengan khidmat. Queen tersenyum. Ia menatap Rama dengan raut wajah tenangnya. Rama pun menoleh, ia memasukkan kembali ponselnya dan menatap Queen.
“Lihat ‘kan-”
“Apa yang sudah kau katakan pada ayahku?” tanya Queen yang memotong ucapan Rama.
Rama berpikir. Pertanyaan yang dimaksud oleh Queen mungkin tentang ucapan Tuan Ehren kemarin. Ia menghela napas dan tersenyum semanis mungkin pada Queen.
“Tak usah dipikir-”
Lagi, Queen memotong ucapan Rama. “Jawab saja!”
“Aku tak mengatakan apapun pada Tuan Ehren.”
“Mustahil ayah bisa berpikir begitu kalau tak ada ucapan apapun darimu,” tukas Queen dengan mata yang berkilat marah.
Rama menghela napas panjang, ia berdiri dan membalas tuduhan Queen dengan tenang. “Kenyataannya begitu. Besok aku akan kembali ke Jakarta. Ada masalah di kantor. Jaga dirimu selagi aku di sana.”
Queen mengacuhkan ucapan Rama. Rama jujur, Queen melihat dari tatapan matanya. Ia harus bertanya pada sang ayah bila sudah pulang nanti. Ia tak mau ada kesalahpahaman yang akan merugikan dirinya sendiri. “Haah.... Bisa gila aku.”
Rama kembali ke kamar. Ia mengeluarkan pakaian yang akan ia kenakan esok hari. Setelan semi formal lengkap dengan dasinya. Ia mendesah setelah menutup koper kecilnya. Kepalanya ia tengadahkan ke atas, tampak langit-langit rumah yang di cat putih. Tanpa sadar ia mengulurkan tangannya dan berusaha menggapai sesuatu di sana. Sudut bibirnya terangkat membentuk kurva indah.
“Segeralah buat keputusanmu, Queen.”
Rama kembali duduk dengan benar. Ia tersenyum tulus. Kakinya kembali membawanya ke tempat di mana Queen berada. Ia lupa bahwa ia akan menjadi tour guide-nya selama di Jerman. Seharian lumayan cukup untuk mengenalkan Queen dengan daerah sekitar. Ia menghampiri Queen dan menepuk bahu itu dengan cepat.
“Hei, Queen of daydreaming! Kalau kau terus menerus melamun, aku akan benar-benar membuatmu pergi ke psikiater. Kebetulan aku tahu di mana psikiater yang bagus di sini.”
“Rama!” jerit Queen menahan emosinya sendiri. Geram sekali rasanya memiliki seseorang yang keterlaluan isengnya. Tak menunggu lama, Rama sudah mendapat hadiahnya, cubitan maut.
“Aduduh, sakit sekali.... Sampai merah begini... ya ampun.... Kau mengurangi tingkat kegantenganku, tahu?” Rama mengusap lengannya berulang kali dengan gerakan cepat. Panas bercampur perih.
Queen menjulurkan lidah guna meledek Rama. Itu membuat Rama gemas. Ia membalas mencubit Queen di pipi. Tidak keras karena ia takut Queen akan kesakitan dan tentunya ia tak mau meminggalkan jejak kemerahan di pipi mulus Queen.
“Ayo keliling. Besok ‘kan aku ke Jakarta. Jadi, kita hanya bisa berkeliling hari ini.”
Rama menarik lengan Queen dengan semangat dan Queen akhirnya ikut berdiri. Sebelum pergi, Rama melilitkan syal di leher Queen. “Kau pasti tak membawa itu, ‘kan? Di sini sedang musim semi. Aku akan mengajakmu ke suatu tempat.”
“Ke mana? Kalau tidak jelas aku tidak mau. Lebih baik di sini.”
“Dan melamun lagi?” tukas Rama. Ia melirik Queen yang masih betah menatap pagar. “Ayolah, musim semi begini paling cocok pergi ke taman. Tamannya juga bagus kok. Aku jamin.”
Queen menghela napas panjang. Sudah lama sepertinya ia tidak pergi ke taman. Ia tahu satu hal, musim semi itu indah. Sama seperti film yang pernah ia tonton, tapi ia sendiri pun lupa nama filmnya. Lantas ia mengangguk singkat dan membiarkan pria di depannya menyeretnya dengan riang.
“Oh, ya. Kemarin sudah berkeliling dengan ayahmu di sekitaran sini ‘kan, Queen? Jadi, aku tak perlu mengulanginya lagi. Kita langsung saja ya ke sana. Tak jauh juga dari sini, tapi lebih baik kita naik transportasi umum.”
Queen mengikuti Rama dari belakang. ‘Kalau diperhatikan begini, bahu itu lebar sekali... sekali peluk langsung masuk semua,’ batin Queen berandai. Ia menapaki jalan setapak sambil mengamati susunan kota yang amat rapi. Frankfurt am Main sungguh bersih.
Cukup lama berjalan kaki, akhirnya Queen pun mengeluh. Ia terus menerus bertanya kapan mereka akan naik kereta. Rama hanya tertawa. Padahal baru sekitar 15 menit mereka berjalan kaki. Namun, Queen sudah terlihat tak sabaran. Mungkin ia masih kesal pada Rama. Jadi, emosinya tidak stabil.
“Sabar.... Cantikmu bisa luntur kalau mengomel terus. Lama-lama kau jadi tambah cerewet-” Rama mengusak gemas rambut Queen sehingga tampak berantakan. Ia menunjuk lurus dan melanjutkan pembicaraannya. “Kita sampai.”
Di dalam kereta mereka tak banyak berbincang. Hanya Rama yang tampak menjadi pemandu yang baik. Ia bercerita ke sana-kemari dengan semangat. Ia juga memberikan beberapa informasi penting pada Queen mengenai Jerman. Seperti kapan Jerman terbentuk, kapan dan bagaimana era Nazi bisa berakhir, dan sebagainya. Intinya, tipikal pemandu wisata yang baik.
Queen mengangguk acuh dan sesekali menimpali. Ia bingung. Mengapa Rama bertahan dengan dirinya yang membosankan? Queen menoleh, ia menatap mata Rama yang masih belum berhenti bercerita. Ia menelisik jauh ke dalam bola mata coklat itu, pendarnya cantik, tapi tak seindah legamnya bola mata Athala. ‘Athala?’ Lagi-lagi pria itu terlintas di benaknya. Queen jengah. Ia menempelkan telunjuknya pada mulut Rama. Benar saja, untaian kata itu berhenti seketika.
“Shh.... Kau ini bawel sekali. Apa masih lama sampainya?”
Baru saja Queen bertanya. Rama malah berdiri. Ia menjawab pertanyaan Queen dengan uluran tangan. “Ayo, turun.”
*
Sampailah mereka di taman Palmengarten. Di mata Queen, suguhan bunga serta rumah kaca di hadapannya begitu indah dan mampu membuatnya terkesima. Rama pandai memilih taman rupanya.
“Aku jadi ingin punya toko bunga sendiri.” Queen menggumam pelan. Ia berjalan dengan antusias meninggalkan Rama di belakang.
Rama mengejar Queen dan menggenggam erat jemarinya. Ia mendengar permintaan yang sempat dilontarkan oleh Queen. “Kau ingin buka toko bunga? Ingin menjadi florist? Aku bisa-”
“Cukup. Aku ingin berdiri dengan kakiku sendiri, Ram.”
Rama mengangguk setuju. Ia kembali mengajak Queen menyusuri taman itu. Mereka menikmati liburan di sana. Humor Rama meningkat pesat dan jauh lebih baik daripada sebelumnya. Queen bahkan sempat tertawa lepas sekali saat mendengar banyolan Rama.
“Sudah, sudah... haha... sakit perutku....”
“Loh, kenapa? Aku benarkan? Haha....”
Ponsel Queen berdenting menandakan ada notifikasi yang masuk. Dengan sisa tawanya ia mengeluarkan ponsel dan mengecek notif yang masuk. Ia mengernyit. Tawanya sontak sirna. Ia membaca isi pesan singkat itu.
Bungaku akan mekar, aku percaya itu. Aku akan menunggumu sampai kapan pun. Selamat pagi, Zeva.
Hatinya mencelos. Queen mendongak, mencoba menghalangi agar tak ada air mata yang menetes. Rama sadar, Queen sedang sedih karena isi pesan itu. Namun, ia memilih bungkam dan mengalihkan perhatian Queen.
“Lapar... lebih baik kita cari tempat makan. Ayo, Queen.”
To be Continue
![](https://img.wattpad.com/cover/208395899-288-k323368.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
1 APRIL : Queen-Athala [END]
RomanceTepat pada tanggal 1 April, Athala dan Queen sama-sama melihat dengan jelas keberadaan masing-masing. Namun, tak ada satu pun yang berusaha maju. Queen lebih memilih berlari, sedangkan Athala hanya diam di tempat. Apakah mereka benar-benar menanti s...