26. Edelweiss [Penuh Usaha]

4 2 1
                                    

Hari itu tanggal 18 Desember, kali pertama salju turun. Bulir air yang terbungkus es itu mendarat di atas kepala Queen. Rasanya dingin, ditambah udara yang yang begitu menusuk membuat Queen sedikit gemetar. Padahal saat itu Queen memakai baju berlapis-lapis sebelum keluar. Ia harus bergegas kembali ke rumah.

“Duh, kenapa juga aku harus mengikuti apa kata Alice dan kembarannya yang menyebalkan itu? Dan kenapa juga saljunya turun saat aku sedang di posisi begini?” Queen menggerutu sepanjang jalan. Saljunya pun semakin deras. Ia memutuskan untuk menepi sejenak. Bila diteruskan, bisa basah dan kedinginan di waktu yang bersamaan. Ia juga bisa diremehkan oleh Leo, mantan pelanggannya dulu.

Selagi ingin menepi, ia merasakan tak ada lagi salju yang menghujam kepalanya. Sontak ia mendongak, memastikan apa salju memang sudah berhenti. ‘Ah, seseorang memayungiku. Sia-’ batinnya berhenti bermonolog. Ia menatap ragu orang yang memayunginya. Tangannya bergemetar, airmatanya luruh. Pria itu mendekap Queen dengan sebelah tangannya yang bebas. Suasananya begitu emosional.

Ich vermisse Dich.

Queen semakin larut dalam tangisannya. Pria itu merindukannya, kesempatan itu hadir untuk kesekian kalinya. Queen mengendurkan pelukannya. Ia menatap lekat wajah itu.  Mata teduh pria di hadapannya membuatnya rindu. Senyum sejuta watt miliknya membuat Queen tersengat. Ia sontak menyentuh bibir pria itu dan berhenti di sudut kiri.

“Aku suka tahi lalatmu di sini. Kau tampak tampan dan manis bila tersenyum begini. Aku... juga merindukanmu. Sangat merindukanmu, Athala.” Queen menitikkan air mata lagi. Namun, kali ini Athala menghapus jejaknya. Lalu Athala melepas topi hangatnya dan memasangkannya untuk Queen. Ia tak suka melihat gadisnya kedinginan. Itu menyakitinya secara tak langsung.

“Kau masih ceroboh. Biar kuantar. Ayo,” tawar Athala. Ia menggenggam erat jemari Queen. Namun, Queen masih bertahan di posisinya. Ia tak beranjak satu senti pun.

Athala menoleh dan bertanya, “Ada apa?”
Queen menunduk. Ia menggigit bibir bawahnya kuat dan Athala hanya menunggu. “Maafkan aku, aku tidak membalas, aku bingung harus bersikap bagaimana. Aku rindu tapi aku kecewa padamu di satu waktu yang sama.”

Athala mendesah. Ia menarik Queen untuk berteduh di sisi toko yang mereka lewati. Athala menutup payungnya dan menyandarkannya di tembok. Ia beralih menggenggam jemari gadisnya dan menatap lekat sepasang manik bulat itu. “Aku yang seharusnya minta maaf. Wajar bila sikapmu begitu. Kau harusnya memakiku, seperti apa yang kukatakan padamu dulu.”

“Tidak. Apa akan benar bila aku memakimu sedangkan aku juga salah di sini?” Queen menatap Athala dengan pandangan bersalah.

“Ah, kalau begitu sekarang kita sudah impas, ‘kan? Sekarang berhentilah bersedih. Kita sudah ada di satu jalan yang sama. Jadi, berbahagialah, Zeva.”

Queen memeluk Athala dengan erat. Ia menumpahkan semua rasa rindunya di sana.

“Oh, ya. Kau tahu dari mana aku ada di sini?” Queen melepas pelukannya. Mereka pun kembali berjalan beriringan di bawah payung yang sama.

“Hampir saja lupa.” Athala merogoh kantung celana bagian belakangnya. Ia menarik sesuatu dari sana. Setangkai anyelir putih.

“Untuk?” tanya Queen.

“Aku, si pengagum rahasiamu, rela ke negeri yang jauh ini hanya untuk melamarmu. Dengan setangkai anyelir putih, aku ingin menjadi pria yang paling bahagia di dunia ini. Apa kau bersedia menikah denganku?”

Queen tergugu. Matanya memerah lagi. Kali ini setetes airmata bahagia keluar dari pelupuk matanya. Senyum pun terukir indah di wajahnya. Mungkin ini saat baginya untuk memiliki kebahagiaan itu.

“Aku bersedia.”

Athala memeluk gadisnya dengan penuh bahagia. Terimakasih pada Rama yang dengan besar hati memberi tahu alamat gadisnya, dan membawanya ke sana. Rama adalah sosok rival yang sangat baik.

Kala itu, Rama dan Athala membuat perjanjian. Athala harus menunggu selama seminggu selagi Rama mencoba berjuang dengan perasaannya. Setelah itu, semua akan dikembalikam pada Athala. Pada hari ke-5, Rama pulang ke apartemen dengan raut wajah yang lusuh. Lantas Athala bertanya tentang apa yang terjadi. Saat itu, ia mendengar bahwa Rama ditolak. Ia juga mendengar bahwa ia merasa lega, bebannya seakan menguap. Perasaan digantung itu sudah hilang.

Athala meyakini, saat Rama kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan tugasnya, di titik itulah rival-nya ingin menyendiri. Athala tidak munafik, ia senang mengetahui Rama patah hati dan bertolak kembali ke tanah air. Jadi, ia memutuskan untuk mendatangi Queen di rumahnya setelah mengantar Rama ke bandara. Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Ia melihat Queen yang berjalan berlawanan arah dengannya.

“Jadi, langsung ke rumah?” tanya Athala.

Queen menggeleng. “Tidak. Aku harus bertemu Alice dan kembarannya di kafe ini. Hanya sebentar. Kau di sini saja.”

Queen berlari ke arah meja berisi dua orang. Ia sedikit mengobrol dengan Alice. Athala memperhatikan Queen tertawa bersama temannya. Tak disangka, Leo menoleh ke luar jendela dan mendapati Athala berdiri di sana. Ia pun melambaikan tangannya singkat dan tak lama kemudian Queen pun keluar.

“Kau kenal Leo?” tanya Queen penuh selidik.

“Ya. Aku pernah bernyanyi di acaranya.”

“Dunia ternyata sempit ya.”

Athala tersenyum. Ia mengusak surai blonde itu dengan gemas. “Oh, iya. Kau ingin menikah kapan?”

“Tidak dalam waktu dekat,” jawab Queen tegas.

“Bagaimana jika di bulan April? Kurasa itu cukup jauh, empat bulan dari sekarang.”

Queen menghentikam langkahnya dan menoleh. “Tentu. Aku selalu menantikan bulan April, terlebih tanggal 1.”

“Kenapa?” tanya Athala penasaran. Ia berdiri menghadap Queen agar lebih jelas.
“Karena setiap bulan April, aku menanti bintang jatuh dan memohon. Aku sudah seperti pemburu bintang jatuh yang rela menunggu dengan setia. Namun, April tahun depan berbeda. Kau sudah ada di sisiku dan aku harap akan terus begitu, selamanya.”

Athala memeluk Queen dengan erat. Sekali lagi, hingga rasanya sesak. Mereka melepaskan pelukan dengan tergesa saat mendengar dehaman seseorang. Queen pun menoleh. Rupanya ayahnya yang berdeham. Ia tak sadar bila sudah sampai di depan toko milik ayahnya.

‘Memalukan.’

To be Continue

Wah, 1 lagi end nih!
Terus ikutin ya ceritanya
Baper deh kalian pasti ~

1 APRIL : Queen-Athala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang