Part Satu

17.1K 651 92
                                    

Sebelum membaca cerita fiksi ini, tolong jangan menghakimi tokoh dalam cerita.
Cerita ini bermuatan bahasa dan umpatan  kasar, bagi pembaca yang tidak berkenan di mohon tidak melanjutkan membaca

Hujan !

Aku berteduh menghindari serbuan air hujan, di sebuah ruko pertokoan pinggir jalan, bersama sofi tetangga samping rumah sekaligus teman sedari masih kanak kanak sampai remaja saat ini.

Hujan semakin deras, seragam  berwarna biru yang kami kenakan setiap kali bekerja di sebuah mini market, telah basah oleh air hujan.

"Kok iso se Shep, ora ngowo mantel iku" (kok bisa tidak bawa mantel) kata Sofi, dengan badan mulai menggigil karena kedinginan.

"Wes nunut nyocot" (Sudah numpang banyak bicara) Jawabku kesal, mataku tertuju pada air hujan yang mengalir ke selokan.

Lalu lalang kendaraan di tengah guyuran hujan, menjadi hiburan tersendiri bagiku.

Tidak ada tanda hujan akan berhenti, dalam waktu dekat ini karena mendung semakin pekat.

Motor matic melaju kencang di tengah kepadatan kendaraan lain, si pengendara nampak mendoyongkan badan sedikit ke depan menghindari derasnya hujan, tanpa mengunakan mantel pengendara itu melesat cepat seperti pembalap liyar.

Aku dan Sofi yang melihatnya merasa takjub, bercampur ngeri. Bagaimana tidak ! Orang itu melajukan skuter maticnya dengan kecepatan tinggi, menyalip zig zag kendaraan di depannya.

BRAAAKKKK....

Aku dan Sofi terkejut, pandangan nanar kami tertuju pada orang yang mengendarai skuter matic kencang tadi. Darah yang keluar dari tubuh orang itu mengalir terbawa air hujan sebelum ia terpental ke atas, karena menabrak gundukan tanah bekas galian proyek di pinggir jalan.

Ku bungkam mulut Sofi dengan tangan kananku. Sebelum Sofi berteriak lantang karena histeris.

Cepat cepat kunaiki motor, lalu menarik tangan Sofi untuk segera ikut menaiki motor, kuputuskan secara sepihak dengan memilih pulang dengan badan basah kuyup oleh air hujan.

Ku paksakan pandangan untuk tidak melihat ke arah kerumunan orang, yang mulai berlarian datang menolong.

Deg..

Jantungku serasa berhenti berdetak, begitu juga dengan Sofi ia nampak terkejut setelah mata kami. Tertuju pada Plat no kendaraan, yang terguling akibat kecelakaan tadi.

Sedangkan jaket hijau, beserta helm di kenakan serasa tak asing bagiku.

Tubuhnya terkapar di bawah roda depan truck, sesekali badanya berkejut dengan darah yang terus mengalir bercampur air hujan.

Ya Allah ...

Pekikku lirih, aku tak berani menatap lama ke arahnya, meski sedari tadi kupaksakan untuk tidak melihat ke arah di mana tubuh terkapar tak berdaya itu, rasa penasaranku lebih besar, lalu berubah menjadi rasa bersalah.
Meskipun jika aku berhenti, aku tidak akan bisa melakukan apapun. Sebab ketakutan tersendiri dariku akan darah dan kematian.
Bahkan sejak kecil, jika ada tetangga atau aku tak sengaja melihat rombongan orang mengangkat keranda mayat, aku akan berlari pulang sambil menangis histeris.

Kukebut motor memasuki jalan menuju rumah kami bayangan seseorang yang sangat kukenal di bawah truk tadi masih melintas di pikiranku.
Suara Sofi, dengan berbagai pertanyaan yang ia ajukan padaku, tak kuhiraukan karena malas untuk menjawabnya, bahkan Sofi sampai memukul punggungku keras karena aku terus fokus pada jalan yang kami lewati.

Memasuki gang kecil ke rumah kami, aku masih terus melajukan motor dengan kencang. Meski rumah kami sudah terlewati sejak tadi, lalu kuhentikan motor di depan rumah Pak Anam dan Bu Anam, Sofi nampak heran, namun ia mengerti maksudku.

ARWAH PENASARAN SANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang