Part 20

7K 478 45
                                    

Tanpa terasa kami bercerita sampai larut malam, karena waktuku di malang hanya 2 hari, dan lusa Mbak Ayu akan menyusulku kemari. Juminten menginap di rumah malam ini, karena besok pagi Juminten akan pergi keluar kota bersama keluarganya, sedangkan Dista ia sudah di boyong ke Surabaya oleh suaminya.

Lalu Melisa juga sudah sibuk, ia bekerja di salah satu hotel di pulau Dewata Bali.

Sudah biasa bagiku jika bangun lewat pukul 9 pagi, Juminten yang semalam tidur bersamaku di kamar sudah pergi. Juminten hanya menitipkan salam lewat Ibuku jika nanti setelah urusannya selesai ia akan kembali kesini.

"Masak opo? Buk" (Masak apa? Buk) Tanyaku saat menghampirinya di dapur.

"Mbok yo adus disek Shep, sek pancet ae polahe" (Mandi dulu sana Shep, masih belum berubah saja tingkahnya) Kata Ibu, karena baru bangun tidur aku sudah menyapanya tanpa mandi terlebih dahulu.

"Males" Jawabku santai, kebiasaanku masih belum hilang, telur dadar yang ibu tiriskan kuambil seperti dahulu.

"Shep" Panggil Ibu, saat aku mulai memakan telur dadar di sampingnya.

"Hmmm .." Sahutku sambil mengunyah.

"Masio adoh teko ibuk, nek kangen moleh yo. Iki yo omahmu, ibuk mesti ngenteni Shepia moleh, masio ta aku iki duduk Ibuk .." (Meskipun jauh dari ibu, kalo kangen pulang yah, ini juga rumahmu, Ibu pasti menunggu Shepia pulang, meskipun aku ini bukan Ibu ...)

"Buk!" Sahutku memotong pembicaraannya, "Ibuk iki ngomong opo seh, cukup, bagiku Ibuk iku ibuk kandungku, aku gak butuh liyane maneh. Aku ora bakalan lali karo jasane Ibuk." (Ibu ini ngomong apa sih, cukup, bagiku ibu itu orang tua kandungku sendiri, aku tidak butuh yang lainnya lagi, aku tidak akan pernah melupakan jasa ibu.)

Mata ibu mulai sembab mendengar ucapanku, sebenarnya aku pun ingin terus bersamanya. Namun urusanku belum selesai, aku masih punya waktu sampai besok pagi.

Ku peluk tubuh ibuku, bagiku ia lebih dari sekedar ibu kandungku sendiri. Kuhapus air mata yang mulai mengalir di pipinya.

"Aku janji nek urusane, wes beres aku bakal moleh" (Aku janji kalo urusanya, sudah beres aku akan kembali pulang) Ucapku lalu mencium kedua pipinya.

"Shep"

"Dalem" jawabku santun.

"Mambu iler, adus disek kono loh" (Bau iler, mandi dulu sana) Jawab ibu, bukanya mendorongku seperti dulu saat aku memeluknya tanpa mandi, kali ibu semakin memelukku erat.

"Ayah gak di peluk pisan Shep" (Ayah tidak di peluk juga Shep) Kata ayah yang menghampiri kami di dapur.

"Sepedaku, endi Yah?" (Motorku, mana Yah?) Tanpa memperdulikan pertanyaannya, aku malah balik bertanya. Menanyakan vario putihku dulu.

"Kate nandi seh, wong yo tas teko mbok, meneng nek omah disek" (Mau kemana sih, baru datang juga mending di rumah dulu) Kata ibu.

"Nyekar" Jawabku.

Karena alasanku yang akan pergi menyekar ke pemakaman Ajeng dan Eva, Ibu memaksaku untuk mandi.

"Shep kate nandi?" (Shep mau kemana?) Sapa Sofi saat melihatku mengeluarkan motor, karena rumah kami berdempetan Sofi yang sedang duduk bermain gawainya langsung menghampiriku.

"Nyekar, melok a?" (Nyekar, mau ikut?)

"Melok, aku yo kate cerito nang awakmu" (Ikut, aku juga ingin bercerita padamu)

"Yawes nyoh gocengen." (Yaudah kalo gitu kamu yang bonceng)

Muka Sofi langsung berubah merenggut, saat aku menyuruhnya untuk membonceng. Padahal dulu kami berdua lebih suka duduk di belakang dari pada menyetir.

Tujuan pertamaku adalah makam Ajeng dan Mbak Santi, aku menyuruh Sofi untuk bercerita nanti. Setelah dari rumah Eva.

Langkahku menyusuri pemakaman desa, jika dulu aku sangat takut tentang kematian dan kuburan, kali ini rasa ketakutan dalam diriku serasa lenyap.

Aku mulai berjongkok di samping makam dengan batu nisan putih, bertuliskan nama Ajeng.
Pelan ku-usap debu yang menempel di batu nisannya, kuceritakan semua perjalanan hidup kami selepas kepergiannya, aku berharap Ajeng juga tenang di alam sana.

Meski dulu kami sering bertengkar hanya karena masalah sepele, pagi bertengkar, sore sudah baikan.

Ingatanku kembali berputar mengingat kejadian kami 3 tahun yang lalu, bulir air mataku mulai menetes.

Sofi yang juga sedang berjongkok di sampingku, mulai mengelus pelan pundakku. Sofi berpikir aku masih trauma dengan kejadian waktu itu.

Lalu kutaburkan bunga di makam Ajeng, tadi sebelum ke makam, kami sempat mampir untuk beli beberapa bunga untuk menyekar.

Setelah mendoakan Ajeng agar tenang di alam sana, kali ini aku menghampiri makam Mbak Santi, kulakukan hal yang sama pada makam Mbak Santi, setelah menaburkan bunga, lalu mendoakannya juga dan tak lupa berterimakasih padanya, karena berkat Mbak Santi kami masih hidup sampai sekarang.

Lalu aku dan Sofi menuju makam Eva, jaraknya agak jauh karena berbeda desa dan kecamatan.
Dadaku serasa sesak mengingat Eva, aku bersimpuh di peristirahatan terakhirnya, tangisku tak terbendung lagi. Ingatan masa-masa bersamanya dahulu, teman yang selalu bersamaku.

Dikala susah mau senang, saat aku dalam masalah ia datang membawa ide-ide cemerlangnya.

Erat pelukanku saat memeluk batu nisannya, masih terasa pelukan terakhirnya sebelum Eva benar-benar pergi.

"Shep wes sore" (Shep sudah sore) Ucap Sofi menepuk pelan pundakku.

Waktu terasa begitu cepat, saat kuceritakan semua kisahku di kuburan Eva, aku berharap di atas sana ia masih berkenan mendengar semua kisah hidupku.

Tidak lengkap rasanya jika tidak mampir ke rumah Eva, kuberanikan diri untuk mampir di rumah Eva.
Padahal aku takut jika Ibu Eva menyalahkanku, atas kepergian Eva.

Pintu pagar rumah Eva kudorong dengan pelan, rumah besar Eva masih sama seperti dahulu. Rumah yang selalu menjadi tempat persinggahanku saat bolos sekolah atau hanya sekedar mampir.

Aku berdiri di depan pintu rumah Eva, lama tanganku tak mengetuk pintu rumahnya, perasaan mulai bercampur aduk, merasa bersalah, takut dengan kata-kata makian keluarga Eva atas kepergian Eva.

Shepia, kok ndak masuk Nduk." (Shepia, kok tidak masuk Nak) Sapa seseorang dari samping rumah.

Aku menoleh, pada suara yang sangat kukenal, Bu Fatma Ibu kandung Eva. Mataku berkaca-kaca melihat sosok wanita paruh baya ini, bukan sebuah tuduhan atau pun makian yang kudapat melainkan pelukan hangat seorang ibu darinya.

Bu Fatma menerima takdir dengan lapang dada, malah beliau takut jika karena kepergian Eva aku merasa bersalah dan tidak mampir kerumahnya untuk sekedar memberi kabar.

Lalu Sofi bercerita tentang kematian Bu Anam yang meninggal secara gantung diri, serta anak laki-lakinya yang meninggal secara tidak wajar.

Sofi juga bercerita jika di dalam mimpinya ia bertemu dengan Mbak Santi. Mbak Santi menuturkan jika ia akan membantu kami yang terjebak di dalam hutan waktu itu.

Kubuka album kenangan berisi semua foto kami sewaktu masih sekolah, dengan pelan kubuka lembar demi lembar. Banyak sekali foto kenangan kami berenam.

Air mataku tak terbendung lagi mengingat kenangan masa lalu.

"Semoga tenang di alam sana Eva." Ucapku lirih.

SEKIAN

Terimakasih kepada kalian yang sudah ngedukung aku dari awal. 🙏

Aku sayang kalian 😘😘

ARWAH PENASARAN SANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang