Malam.
Kami terjebak di sebuah bangunan tua yang sudah hancur, aku menerangi Dista yang sedang mencoba membetulkan senternya dengan panik, dengan cahaya dari nyala senter yang kupegang dengan gemetaran.
Mataku sibuk mengawasi sekeliling dengan perasaan was-was, kecemasan mejalari kami.
Kami berharap ini hanyalah sebuah mimpi belaka, namun yang terjadi sekarang kami benar benar terjebak dalam situasi mengerikan dalam sebuah bangunan tua di tengah hutan belantara.Senter Dista kembali berfungsi secara normal kembali, Juminten menyibakkan remputan yang menjalar di sekitar kami. Dalam situasi sekarang ini kucoba berpikir keras, mencari jalan keluar dari masalah yang sedang kami hadapi.
"Jancok" Dista kembali mengumpat kesal, ia mulai panik bersama kami.
Eva mulai mencari sesuatu dari dalam tasnya, Melisa menyinarinya dengan lampu flash dari gawainya.Ajeng meringkuk ketakutan dengan posisi berjongkok di dekat Eva, Juminten yang juga tak percaya dengan keadaan yang tiba tiba berubah mencekam ini mencoba untuk tetap tenang, dengan terus menempel padaku ia sadar yang paling rawan di terpa rasa ketakutan dalam kelompok kecil ini adalah aku.
"Taek koen Dis" (Sialan kamu Dis) Makian kekesalan Ajeng pada Dista dengan suara serak, matanya mulai sembab.
Dista mengarahkan senternya pada Ajeng yang sedang berjongkok ketakutan, seraya menjawab. "Cangkemu ngomong opo he?" (Mulut kamu berbicara apa?) Dista menyahut dengan nada kesal juga."Kan awakmu seng ngejak sampek tekan kene" (Kan kamu yang mengajak sampai di sini) Kata Ajeng, bibirnya bergetar ketakutan.
"Mosok eroh nek bakalan koyok ngene dadine" (Siapa yang menyangka kalo bakal seperti ini jadinya) Jawab Dista ia nampak menahan emosi.
"Koen! seng mulai awal ora jujur, dadine malah koyok ngene" (Kamu! yang dari awal tidak jujur, membuat keadaan jadi seperti ini) Suara keras Melisa seraya mendorong Eva di sampingnya jatuh tersungkur. "Iki kabeh salahmu" (Ini semua salahmu) Lanjut Melisa degan menudingkan tangannya ke arah Eva di bawahnya.
Aku dan Juminten tak ingin ikut dalam pertengkaran mereka, percuma saja berengkar sedangkan keadaan sudah menjadi seperti ini.
Eva berdiri sambil mengibaskan debu di kedua lututnya, setelah itu ia membalas mendorong Melisa dengan keras seraya berkata "Aku niat nulungi cok" (Aku niat menolong, sial) Eva membela diri membalas makian Melisa.
Entah siapa yang benar dan siapa yang salah, kami saling menyalahkan satu sama lain.BUUKK ..
Suara benda jatuh secara tiba tiba di tengah kami yang sedang bergerombol, bau busuk menyengat di hidung yang berasal dari sesuatu yang jatuh barusan, membuat kami diam sambil menutup hidung.
Ku arahkan senter yang kupegang pada sesuatu yang baru saja jatuh di tengah kami.akh ...
Suaraku tertahan di tenggorokkan, mataku nanar menatap sosok tubuh yang membusuk, berbalut kain kafan yang sudah tak terlihat warna aslinya karena cairan yang terus keluar dari tubuh tersebut. Kami terkejut secara bersamaan ketika melihatnya.
Melisa dan Ajeng yang panik berlari ke arah pintu yang kami masuki tadi, Dista menarik tangan kiriku dengan keras mengajakku berlari bersamanya menyusul Ajeng dan Melisa yang lari terlebih dahulu di depan kami. Juminten juga ikut berlari di belakang kami, meninggalkan Eva seorang diri berdiri mematung memandangi pocongan di depannya.
Kami terus berlari tak tentu arah, dalam hutan yang gelap oleh pekatnya malam.
Suara tawa cekikikan seorang perempuan mengiringi kami yang berlari sambil panik, semakin menjauh dari bangunan tua tadi dengan rasa ketakutan dalam diri kami.
Berkali kali aku jatuh bangun karena tersandung akar pepohonan, terus terang aku sudah tak kuat untuk berlari lagi. tetap kupaksakan kaki untuk berlari mengejar Dista di depanku, sampai akhirnya ia berhenti karena kelelahan berlari.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARWAH PENASARAN SANTI
HorreurCerita kelam masa lalu, di balik kematian seorang gadis muda yang di jadikan tumbal pesugihan oleh ayah kandungnya sendiri. Shepia tidak sengaja melihat kecelakaan yang menimpa tetangga sekampungnya. Siapa sangka kematian mbak Santi yang tragis mer...