Part 2

8.4K 449 89
                                    

Gerimis masih belum reda hingga malam hari.

Aku meringkuk di pelukan ibu, tangisku tumpah di dadanya. Ayah mulai panik dengan keadaanku saat itu, tanpa berfikir panjang ayah membopongku menuju kamarnya di ikuti ibu yang berjalan di belakang kami.
Tangisku belum berhenti, dadaku terasa sesak, masih terbayang di ingatanku sosok Mbak Santi yang menampakkan diri padaku, meski aku tidur di tengah kedua orang tuaku. Rasa ketakutanku belum sepenuhnya hilang.

Tok... Tok... Tok...

"Gak tuku jajan a." (Tidak beli jajan?)

Suara itu, aku mengenalinya, itu suara mbak Santi.

Mbak Santi berjualan kue jajanan pasar saat pagi dan sore hari di depan gapura gang masuk rumah kami.

Tok.. Tok... Tok...

"Gak tuku jajan ta?" (Tidak beli kue?)

Berulang ulang ia ketuk pintu rumahku di malam hari, kami yang mendengarnya merasakan ketakutan oleh teror Mbak Santi.

Bukan hanya aku, ibu tampak terkejut ketika mendengar suara ketukan pelan di pintu rumah kami.

Sreeekk... Sreekkkk.. Sreekk..

Suara langkah di seret di dalam rumah kami, ia berjalan menyusuri ruang depan lalu melewati ruang tengah dan berhenti di depan pintu kamar di mana saat ini kami berada.

Tok... Tok... Tok...

"Lek, aku nawakno jajan ora ser tuku ta?" (Bibi aku menjajakan kue tidak berminat beli kah?)

Pintu kamar di ketuk amat pelan, suara mbak santi juga terdengar berat dan serak, bau amis darah tercium sangat menyengat saat kehadirannya.

Dari celah bawah pintu kamar, bayangan itu berdiri menghadap ke arah kamar.

Berkali kali kusebut asma Allah, sambil terus menangis, memohon pertolongan dari yang maha kuasa.

Ibu yang sedari tadi memelukku, mendongakkan kepalanya ke arah pintu.

"Ora San, sepurane yo nduk." ( Tidak San, maaf yah nak.) Kata ibuku pelan.

Kawatir denganku, ayah mengambil minyak angin di laci kamar, lalu mengoleskan di leher dan sela sela bawah hidung.
Entah apa yang dibicarakan ayah dan ibu, badanku terasa lemas sambil terus kupejamkan mata agar sosok Mbak Santi tak kulihat, tangisku belum juga berhenti.
Beberapa kali ibu menenangkanku, dengan tangan lembutnya membelai kepalaku agar aku sedikit tenang.

Gemetar di badanku tak kunjung hilang, tanganku masih mencengkeram erat tangan ibu, berkali kali ayah menyeka keringat di keningku.

Ayah bangkit keluar kamar, menuju kamar mandi mengambil air wudhu, lalu kembali ke kamar dengan gelas berisi air putih lagi.
Sajadah di gelar di samping tempat tidur, selesai sholat tahajud ayah meniup gelas berisi air putih yang sudah ia persiapkan, lalu merapalkan suatu ayat Al-Quran.

Ibu menyuruhku bangun, agar aku lekas meminumnya, dengan mata terpejam aku meminumnya. Sisa dari air yang Kuminum, di basuhkan ke wajahku.

Aku mulai sedikit tenang, lalu tertidur.
Dulu ketika ketakutan atau phobiaku kumat, kakek sering datang menjenguk lalu menyuruh mengambil air dalam gelas, setelah berdoa lalu meniup 7 kali ke arah gelas berisi air tersebut, aku di suruh meminumnya.

Pernah juga suatu ketika saat pulang sekolah, kukayuh sepeda pancal di bantu Sofi yang duduk di kursi belakang ikut membantu mengayuh. Tak sengaja kulihat dari jauh rombongan pengantar Jenazah berjalan ke arah kami, ketika semakin dekat dan jelas yang di pikul oleh 4 orang itu keranda mayat. Tanpa pikir panjang aku meloncat dari sepeda, berbalik lalu berlari dengan tangisan kerasku. Meninggalkan Sofi yang terjatuh dari sepeda.

ARWAH PENASARAN SANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang