Kami masih tak percaya dengan apa yang saat ini berada di depan mata, Ajeng mati tergantung di antara 9 gadis lain dengan tali yang melilit leher mereka.
Binggung dengan semua yang tiba tiba terjadi, meratapi nasib yang telah terjadi pada kami dengan tangisan kehilangan, karena Ajeng benar benar telah meninggal.
Jika Ajeng meninggal, lalu di mana Melisa sekarang bukankah semalam mereka berlari bersama.
"Terus yo opo iki, opo di kubur saiki ae?"
(Terus sekarang bagai mana, apa di kubur sekarang saja?) Kata Juminten pada kami, ia nampak tak tega melihat Ajeng yang mati tergantung.Aku mengehentikan langkah Juminten dan Dista yang akan bergegas menurunkan mayat Ajeng, hawa jahat yang tiba tiba kurasakan terpaksa menghentikan mereka.
Ada semacam bisikan dalam hati, jika kami lebih mendekat lagi ke arah pohon di mana Ajeng tergantung saat ini, akan datang hal yang tidak kami inginkan terjadi.
Juminten menepis cepat tanganku yang menahannya, aku menggelengkan kepala padanya saat Juminten menoleh padaku dengan tatapan penuh tanda tanya.
Pada akhirnya aku tak bisa menghentikan Juminten yang terus melangkahkan kakinya menuju pohon besar di depan kami.
Dista merasakan kecemasanku, yang menghentikan niatnya berteriak keras menghentikan Juminten yang semakin mendekat ke arah pohon, "Jum, mbalek" Teriak Dista keras agar Juminten mengurungkan niatnya.
"Arrgg .." Belum sempat Juminten sampai ke pohon, ia mengerang sambil berguling - guling di tanah memegangi wajahnya.
Aku dan Dista berlari cepat menghampiri Juminten yang terlihat kesakitan, sambil memegangi wajahnya. Kutarik kerah jaketnya sambil berjalan mundur di bantu Dista yang juga terlihat panik dengan yang Juminten alami saat ini.
Dista memapah Juminten yang terus mengusap wajahnya, ia mencoba menenangkan Juminten dari kepanikannya.
Kami kembali menuju depan bangunan yang rusak tempat Eva sedang menunggu tadi, mataku mulai mencari keberadaan Eva.
Seluruh penjuru bangunan sudah kudatangi guna mencari keberadaannya, namun tak pernah kutemui sosok Eva.Deg.
Jantungku serasa berhenti mengingat Eva yang tadinya bersamaku, tubuh dingin dan muka pucatnya.
Angin menerpa pelan tubuhku kupejamkan mata untuk sesaat, pikiran dan keinginanku hanyalah pulang bersama teman temanku dengan selamat dengan selesainya masalah hantu mbak Santi yang membuat resah warga setiap malam.
Namun yang terjadi sekarang ini di luar perkiraan kami, kami datang dengan canda dan tawa dan sekarang satu persatu temanku meninggalkan dengan mengenaskan. Di tambah lagi keberadaan Melisa yang sampai sekarang entah di mana.Masih jelas terasa saat Eva memelukku tadi, memori ingatanku kembali mengingat ucapan Eva waktu memelukku tadi.
"Mbak" Panggilku pada Dista yang mengolesi wajah Juminten dengan lotion dingin, berharap bisa meredakan rasa panas di wajahnya.
"Opo Shep?" (Iya Shep?) Tanya Dista menoleh padaku, tanganya sibuk mengolesi lotion di wajah Juminten.
"Awak dewe kudu ngolek'i kuburan, terus njukuk kotak seng di pendem" (Kita harus mencari kuburan, terus mengambil kotak yang di kubur di dalamnya) kataku lirih padanya.
"Kuburan?" Tanya Dista masih tak mengerti maksudku.
"Iyo sebab nek njero kotak iku, onok barang seng digawe numbal awak dewe" (Iya sebab dalam kotak itu, ada barang yang di buat untuk menumbalkan kita) Lanjutku menerangkan.
Dista nampak berpikir sejenak kemudian ia berdiri lalu mengambil punggungnya, kemudian melucuti semua pakaian yang di kenakannya.
Setelah selesai berganti pakaian membantu Juminten berdiri, seraya berkata, "Jum poisisine awak dewe iki di dadekno tumbal, mati nek kene dadi tumbal opo ngelawan terus moleh bareng?" (Jum posisi kita sekarang ini di jadikan tumbal, mati di sini apa melawan terus pulang bersama?) Ucap Dista pada Juminten yang duduk di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARWAH PENASARAN SANTI
HorrorCerita kelam masa lalu, di balik kematian seorang gadis muda yang di jadikan tumbal pesugihan oleh ayah kandungnya sendiri. Shepia tidak sengaja melihat kecelakaan yang menimpa tetangga sekampungnya. Siapa sangka kematian mbak Santi yang tragis mer...