Aku merasa lelah terus berlari dengan ketakutanku sendiri, muak dengan semua hal di luar nalar yang terjadi pada kami.
Terus berlari di saat ketakutan datang pada kami tidak akan menyelesaikan petaka yang sedang kami hadapi, aku kembali teringat perkataan Eva, saat perjalanan menuju ke rumah Mbah Harjo orang yang belum pernah kenal dan temui hingga saat ini.Eva bercerita saat bermeditasi mencoba mencari jawaban, kenapa arwah Mbak Santi menghantui desa kami saat malam.
Mbak santi di jadikan tumbal pesugihan oleh orang tuannya, sedangkan yang mengantar Mbak Santi ke rumah Mbah Harjo adalah Cak Johan.Cak Johan merayu Mbak Santi memasang susuk agar kue jualannya semakin laris, atas perintah Pak Anam ayah Mbak Santi.
Cak Johan tergiur oleh rayuan Pak Anam yang memberikan beberapa juta uang padanya, padahal ia tidak tahu jika akan di jadikan tumbal pesugihan Pak Anam.Dan kedatangan kami di sini sekarang, bukanlah suatu kebetulan belaka, Pak Anam sudah merencanakan semua ini sebelum kematian Mbak Santi, karena hari kelahiran kami berenam, Senin, Kamis, Jum'at dan Minggu.
Aku lahir di hari minggu, sedangkan Dista lahir pada hari senin malam, sedangkan yang lain juga lahir di hari pada hari tersebut.
Pak Anam harus memenuhi syarat yang di ajukan, dengan mengorbankan gadis yang belum menikah sebagi tumbal.Eva yang mencoba mencari jawaban dikelabui Mbah Harjo, dengan alasan harus datang kemari untuk melepas susuk yang di tanamnya pada Mbak Santi.
Sejauh kami berjalan dalam pekatnya kabut malam di tengah hutan, kami hanya berputar putar lalu kembali ketempat terakhir kali kami berhenti.
"Awak dewe iki mek muter muter, tok" (Kita hanya berputar putar saja) Umpat Dista dengan melempar ranting pohon yang sudah kering di tangannya.
Kami berhenti di tempat semula terakhir kali aku menghentikan lari dari mbak Santi, yang tiba tiba muncul dengan suara langkah kaki di seretnya.
Kami kebingungan entah jalan mana lagi yang harus pilih, kesekian kalinya kami melanjutkan perjalan untuk mencari ketiga teman kami yang terpencar, ujung ujungnya kami selalu kembali ketempat ini.
Dista memutuskan untuk berdiam di sini terlebih dahulu, saat pagi nanti kami akan kembali mencari mereka kembali.
Kusandarkan kepala di pundak Dista, dengan kaki selonjor di atas paha Juminten yang duduk di sebelahku.Kakiku terasa panas karena saking lamanya berjalan di tengah hutan ini, dalam hati aku mendoakan ketiga temanku yang terpisah, semoga saja mereka dalam keadaan baik baik saja.
"Jum awakmu ngompol ta?" (Jum kamu ngompol?) Tanyaku pada Juminten, ia nampak kelelahan.
"Ora ndeng" Jawab Juminten cepat, dengan menoleh kearahku.
"Shep" Panggilan Dista tiba tiba matanya nampak sembab, saat aku berpaling memandangnya.
"Opo Mbak?" (Apa Mbak?) Jawabku sambil bertanya heran ke arahnya, air matanya mulai mengalir membasahi pipi tirusnya.
"Sepurane yo, gara gara aku awakmu karo liyane dadi koyok ngene" (Maaf yah, gara gara aku kamu dan yang lainnya jadi seperti ini) Ucap Dista sambil mengusap air matanya, dengan sorot mata penyesalan saat memandang wajahku.
"Koen duduk Mbak, ku" (Kamu bukan kakak, ku) Jawabku kesal, dengan mengerakan kepalaku yang tadinya bersandar di bahunya.
"Mbakku, Dista iku kuat ora cengeng koyok awakmu, Dista panutanku mulai cilik sampek gede iku ora koyok ngene" (Kakakku, Dista itu kuat tidak cengeng sepertimu, Dista panutanku sedari kecil sampai besar tidak seperti ini) Lanjutku dengan nada kesal kearahnya.
Dista nampak terkejut mendengar makianku padanya, ia nampak menyeka air matanya sambil tersenyum padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARWAH PENASARAN SANTI
HororCerita kelam masa lalu, di balik kematian seorang gadis muda yang di jadikan tumbal pesugihan oleh ayah kandungnya sendiri. Shepia tidak sengaja melihat kecelakaan yang menimpa tetangga sekampungnya. Siapa sangka kematian mbak Santi yang tragis mer...