Selesai adzan subuh, ku bangunkan Juminten yang tidur di lantai.
"Jum, Jum, tangio wes subuh" (Jum, bangun sudah subuh)
Kataku, mengoyangkan tubuh Juminten di lantai."Hmmmmm...." Suara Juminten berat, aku tak habis pikir dengan tingkahnya, bisa bisanya Juminten pingsan lalu terlelap tidur di lantai.
Ingin sekali kutendang perutnya, ia meninggalkan diriku yang ketakutan semalam. Entah apa yang di lihatnya semalam yang jelas sebelum ia pingsan, Juminten terlihat terkejut saat melihat ke arah rumah mbak Santi.
Setelah berpamitan pada mak Ten dan Pak Tino, orang tua Juminten aku pulang meninggalkan Juminten yang masih tertidur di lantai kamarnya.
Terus ku coba mengingat kejadian semalam, rasa takutku akan kedatangan mbak Santi memang belum sepenuhnya hilang, berbeda dengan sebelumnya.
Sampai pagi menjelang pun, rasa takutku tak akan hilang, berbeda dengan hari ini. Yang kurasakan justru sebaliknya semakin besar rasa penasaranku hingga aku sendiri tak mengerti, harus berbuat apa.Apa ada hal yang ingin mbak Santai sampaikan, sehingga ia terus menampakkan wujudnya padaku.
Apakah ada suatu perkara di dunia yang masih belum ia selesaikan, sehingga selalu bergentayangan setiap malam.
Jika memang ada perkara di dunia yang belum ia selesaikan, kenapa tidak datang dalam mimpi bu Anam saja, pikirku.
Kenapa harus kami para tetangganya yang harus ia teror."Shep, turu nek endi membengi awakmu iku?" (Tidur dimana kamu semalam)
Suara ibuku, yang akan menuju mushola di depan gang untuk sholat subuh berjamaah.
"Di keloni Juminten" (Tidur sama Juminten) Jawabku singkat, lalu buru buru aku memasuki rumah.
Tak habis pikir rasanya, kampung yang dulunya tentram dan ramai, kini menjadi sepi menjelang malam.
"Turu omah e Bude ta, Nduk" (Tidur di rumah Bude ya, Nak) Sapa ayahku, saat mengetahuiku, memasuki rumah.
Buru buru kupeluk badan kekar ayahku dari belakang.
"Yah," kataku pelan sambil memeluknya.
"Hmmm.." Jawab ayah sambil mengelus pelan tanganku yang melingkar di dadanya.
"Minta duit" Kataku, sambil memasang wajah sedih agar ayahku mengabulkan permintaanku, rasanya isi kepalaku penuh dengan semua masalah, yang tidak pernah kuperbuat.
"Duwek terus, gae opo seh" (uang terus, buat apa sih)
Jawab ayah, mengambil nafas panjang."Pengen tuku klambi, pengen sepatu, pengen, nang salon, pengen njajan, pengen refresing terus pengen banyak" Jawabku semangat.
"Masa Allah, Shepia..." Jawab ayah kaget, mendengar semua keinginanku.
"Yawes ora usah" Kataku merajuk, mulai memasuki kamar, lalu kubanting kuat pintu kamarku.
Dan benar ayah mengikuti kekamarku, duduk di sampingku yang tidur tengkurap, ayah mengelus pelan kepalaku.
Semakin kubenamkan, wajahku pada bantal, agar terlihat aku benar benar merajuk.
"Oalah iyo, iyo, ojo nesuan tala" (Iya, iya, jangan suka marah)
"Bah" Jawabku singkat, dengan suara yang kubuat seperti sedang menahan tangis. (ini jurusku)
Ayah membuka dompetnya, mengelurkan tiga lembar seratus ribuan, "Cukup ora" kata ayah padaku.
"Yo ora yah, gae nyalon wes entek" (Ya tidak yah, buat kesalon sudah habis)
Jawabku, pusang wajah melas ke arahnya.
Karena kutahu meski ayah orang yang tegas, ia akan menuruti kemauanku, apa lagi jika aku bilang pada kakekku, ayah akan di marahinya karena ulahku.
![](https://img.wattpad.com/cover/215857046-288-k457935.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ARWAH PENASARAN SANTI
HorrorCerita kelam masa lalu, di balik kematian seorang gadis muda yang di jadikan tumbal pesugihan oleh ayah kandungnya sendiri. Shepia tidak sengaja melihat kecelakaan yang menimpa tetangga sekampungnya. Siapa sangka kematian mbak Santi yang tragis mer...