Part 13

5.1K 336 10
                                    

Sosok gadis di depan berdiri membelakangi kami dari rambut lurus dan jaket yang di kenakannya sama sekali tak asing bagi kami, kuarahkan senter untuk memperjelas siapa penglihatan kami.

"Mel .." Panggilku lirih karena kuyakin ia adalah Melisa.

Dista bergegas cepat menghampirinya. Di tariknya tangan Melisa yang masih berdiri mematung dengan badan gemetaran, Melisa linglung semua pertanyaan kami padanya hanya di jawab dengan pandangan kosong beserta mulutnya yang membisu.

Juminten menepuk pipi serasa mengoyangkan badan Melisa, agar ia sadar dari linglungnya.
Kutuntun Melisa untuk duduk menepi lalu memberikan botol air mineral padanya, agar ia tenang.

"Mel ..." Ucapku lirih, dengan kalem kuhapus air mata yang meleleh di pipinya, rasa trauma yang di alami membuat jiwanya terguncang.

"A-jeng di seret Lek Anam Shep" Ucap Melisa lirih dengan bibir bergetar, tangisannya semakin deras saat ia mencoba mengingat apa yang di alaminya semalam.
Kupeluk erat tubuh Melisa sambil terus kubisikan semua akan baik baik saja.

"Asu Anam iki" (Dasar Anam binatang) Umpat Dista kesal, ia geram menahan marah karena apa yang di lakukan pak Anam pada kami.

Kami lega karena Melisa terselamatkan meski ia menderita trauma berat, akibat peristiwa yang di alaminya semalam.
Tanganku terasa di sentuh pelan lalu seperti di tarik pelan meski sebenarnya aku bisa mengehentikan langkahku, yang mulai berjalan pelan hatiku memilih menuruti tarikan pelan di tanganku.

Terasa halus hingga aku tersadar dengan apa yang kulihat saat ini. Dua bocah perempuan sedang menarik pelan tanganku dengan senyuman mereka yang membuat hati tenang sekaligus bertanya tanya, siapa sebenarnya mereka ini.

Aku terus berjalan pelan tak sadar dengan apa yang kualami saat ini. Dista dan Juminten yang membantu Melisa berjalan, mengikutiku berkali kali mereka memanggil namaku namun yang kulakukan justru terus berjalan mengikuti dua bocah di depanku saat ini.

"Shep, he arek iki kesurupan ta?" (Shep he anak ini kesurupan kah) Kata Dista mencoba menghentikanku yang terus berjalan tanpa menghiraukannya.

"Iku lak sepeda e awak dewe" (Itu kan motor kita) Ucap Juminten yang mengarahkan senter ke arah motor yang sengaja kami tinggal dua hari yang lalu.

"Loh iyo" (Lah benar) Sahut Dista bergegas mendahuluiku menuju motor kami.

Di sebelah motor kami seseorang sedang duduk di kegelapan malam, dengan nyala rokok yang menemaninya.

"Mbah Darkun?" Kata Dista setelah yakin orang yang duduk beralaskan tikar tersebut adalah Mbah Darkun.

"Sepurane Nduk, Mbah ora iso nulungi nyusul awakmu kabeh, seng iso tak lakoni namung ngenteni awakmu kabeh mbalek merene. Aku percoyo mesti onok salah siji tekan awakmu seng iso mbuyarno kelakuane Harjo" (Maaf nak, Kakek tidak bisa menolong menyusul kalian semua, yang bisa kakek lakukan hanyalah menunggu kalian kembali kesini. Kakek percaya salah satu dari kalian bisa menghentikan yang di lakukan Harjo) Jawab Mbah Darkun dengan pelan, sambil mengawasi sekeliling.

"Seng endi jenenge Harjo iku Mbah?" (Yang mana Harjo itu Mbah?) Tanya Dista penasaran.

"Harjo iku pengabdi Nyi Rukmi" Jawab Mbah Darkun, orang yang bersekutu dengan jin penguasa hutan ini.

"Terus Nyi Rukmi iku sopo Mbah?" (Terus 
Nyi Rukmi itu siapa Mbah?) Tanyaku penasaran.

"Kuburane onok nek nduwur gunung cilik tengah alas ini Shep" (Kuburanya ada di atas bukit tengah hutan ini) Jawab mbah Darkun.

Tiba tiba angin kencang datang dari dalam hutan, di susul suara jeritan keras yang menyayat hati.

Sraaak ...

ARWAH PENASARAN SANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang