Perjalanan menuju jawa tengah yang amat melelahkan tak mengurangi niat kami, beberapa kali aku dan Juminten salah jalan atau bahkan salah belok saat menjumpai perempatan, karena Dista yang memimpin di depan mengendarai motor seperti orang kesetanan.
Kupasang earphone di kedua telinga menikmati perjalan jauh dengan mendengarkan lagu kesukaanku.
Beberapa kali kami singah serta istirahat di pom bensin untuk melepas penat sebentar, bokongku sudah terasa panas selama perjalanan yang kami tempuh.
Berulang kali aku dan Juminten bergantian menyetir karena lelah.===
Tengah malam.
Kami sudah sampai di kota klaten jawa tengah, Dista dan Eva bertanya pada penduduk sekitar tentang alamat yang akan kami tuju, Ajeng dan Melisa memasuki mini market membeli minuman dingin, Aku dan Juminten selonjoran saling bersandar punggung diteras depan mini market.
Kami berdua sudah hilang semangat juang untuk meneruskan perjalanan, "Jum" Suaraku lirih."Hmmm ..." Sahutan Juminten tanpa semangat, padahal waktu di malang tadi ia yang paling bersemangat.
Melisa yang baru keluar dari dalam mini market bergabung bersama kami, ia malah tiduran di lantai menyandarkan kepalanya ke pahaku, tidak peduli dengan lantai kotor bekas pijakan alas kaki pengunjung mini market."Duh, jan persis argobel" (Duh, hampir sama dengan pemulung) Ujar Ajeng saat mengetahui kelakuan kami bertiga.
Kami bertiga diam tak menjawab candaannya, bahkan saat Ajeng mulai memotret kami beberapa kali pun, kami masih dengan posisi yang sama.
Dista dan Eva berjalan ke arah kami, mereka sudah mendapat informasi tentang desa yang akan kami tuju malam ini.
"He, ayok berangkat" Suara Dista mengajak kami untuk memulai perjalanan kembali.Ajeng berjalan ke arah motornya ia nampak kembali bersemangat saat berada di atas jok motornya, sedangkan kami bertiga masih dalam posisi seperti tadi. Air mineral dan beberapa minuman bervitamin C yang di beli Ajeng bersama Melisa tadi, sama sekali tak kami sentuh.
"Shep, Jum, Melisa ayok berangkat" Lanjut Dista pada kami bertiga yang sama sekali tak bergerak.
"Jangan ngulur waktu lah" Sahut Eva yang berdiri di samping Dista.
"Jadi berangkat atau nginap sini aja?" Tanya Dista.
Kami bertiga masih diam tak bergerak, meski tak tidur, kami sengaja memejamkan mata."Shep?" Suara Juminten bertanya padaku.
"Hmmm..." Jawabku malas, membalas sahutan Juminten tadi saat aku memanggilnya.
"Mbakmu, bendino mangan pohong katek bahasa indonesia barang" (Kakak kamu, setiap hari makan singkong aja make bahasa indo) Kata Juminten pelan, sontak aku dan Melisa terkekeh mendengar perkataan Juminten barusan.
"Jancok koen Jum" Umpat Dista dengan nada kesal.
Akhirnya kami bangkit berjalan gontai menuju motor dengan tenaga yang masih tersisa.
Kali ini kami bertukar posisi, Dista memboncengku karena kasihan, perjalanan di lanjutkan. Menuju suatu desa yang bernama muntihan, Dista memacu motorku kencang memaksa tanganku melingkar erat di perutnya.
Beberapa kali helm yang kukenakan beradu dengan helm Dista akibat rasa kantuk yang tak bisa kutahan. Gas motor di sentakkan dengan keras, Dista sedang mengerjaiku berkali kali membuat rasa kantukku sedikit hilang karena ulah jailnya.
Pejalanan semakin jauh memasuki daerah pedesaan, kulirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kiriku. Sudah pukul 2 Pagi sedangkan tempat tujuan yang akan kami tuju masih beberapa puluh kilo meter lagi.===
Pujul 3 dini hari.
Kami mulai memasuki desa yang namanya tercatat dalam buku kecil milik mbak Santi, perjalanan di jeda beberapa sebentar karena rumah dukun yang di maksud belum juga di ketahui.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARWAH PENASARAN SANTI
TerrorCerita kelam masa lalu, di balik kematian seorang gadis muda yang di jadikan tumbal pesugihan oleh ayah kandungnya sendiri. Shepia tidak sengaja melihat kecelakaan yang menimpa tetangga sekampungnya. Siapa sangka kematian mbak Santi yang tragis mer...