PART 3

7.5K 413 36
                                    

Sayup sayup terdengar suara rintihan kesakitan dari luar rumah, di sebelahku mbak Ocha sedang terlelap. Sedang kan Juminten nampak berdiri di samping jendela kamarku.

"Sssstttt..."

Juminten melakukan bahasa isyarat ke arahku, saat mengetahui aku terbangun.

"Nek njobo" Suara lirih Juminten sambil menunjuk ke luar jendela.
Bau anyir darah menusuk hidung, tak peduli dengan kelakuan Juminten yang terus mengintip dari balik jendela kamarku, aku memilih menutupi seluruh badan hingga kepala dengan selimut.
Badanku mulai gemetaran lagi, bau amis darah tercium sangat menyengat.

"Teko maneh ta," kata mbak Ocha lirih, saat terbangun karena gemetar badanku.

Aku hanya mengangguk pelan, tak tau harus berbuat apa, mulut kami berdua komat kamit membaca surat Al-Quran.

Hujan kembali datang di malam hari itu, Juminten dengan rasa penasarannya memkasa kami untuk melihat hal yang sama sekali tak ingin ku lihat.

Mbak Ocha bangun, karena selimut yang menutupi kami di tarik oleh Juminten.

Rasa keingin tahuan Juminten, memaksa aku dan mbak Ocha ikut penasaran.

Ku geser pelan badan ku di sisi Juminten, mbak Ocha mencengkeram baju ku dari belakang.
Aku berjongkok di bawah Juminten, pelan pelan dengan tangan gemetaran ku buka gorden jendela kamar.

Mbak Santi berjalan menyeret kaki kanannya, di tengah guyuran hujan deras di malam itu. Tangan kanan menutupi mulutku, sedangkan tangan kiriku mencengkeram erat betis Juminten.
Beberapa kali Juminten memukul tanganku, agar aku melepaskan betisnya.

"Loro Shep...." (Sakit Shep)

Ucap Juminten memukul tangan kiriku.

Badanku sudah gemetar, ingin sekali aku berteriak memanggil ibu, atau ayahku, ketika melihat mbak Santi berjalan pelan, sangat pelan, hingga berhenti di depan rumah. Lama ia tak bergerak, berdiri mematung di depan rumahku.

Dari balik jendela kamar kami bertiga mengamati mbak Santi yang berdiri lama menghadap ke ujung gang, di depan rumah. Hingga ahirnya ia menoleh ke arah kami, dengan wajah penuh luka serta bola mata kiri yang menggantung, berlumuran darah.

BLAAAAAAARRRR......

Suara beserta kilatan petir di malam hari, memperjelas wajah mbak Santi yang menoleh ke arah kami.

"HUAAAAAAAAA...."

Jantungku serasa copot, kami bertiga meloncat ke kasur dengan teriakan secara bersamaan.

Keringat membasahi badan kami, dengan badan gemetar tak karuan ku ambil Al-Quran di atas lemari kecilku.

Ku peluk erat kitab suciku dengan badan gemetaran, hingga duduk bersimpuh bersandar pada tembok. Meski ayah dan ibuku, datang menenangkan air mataku belum juga berhenti, jiwaku terasa terguncang. Mengingat apa yang baru saja ku alami.

Ibu menuntunku keruang tengah, mbak Ocha dan Juminten juga nampak shock dengan yang baru saja yang kami alami.

Aku tak bergeming ketika ayah menyuruhku lekas mengambil air wudhu, badanku masih gemetar dipelukan ibuku.

Hingga akhirnya ia mengambil gelas dengan air putih, lalu mengulangi cara yang sama seperti malam kemarin. Ketika air di basuhkan ke wajahku, aku sedikit merasa tenang.
Dengan badan lemas di temani Ibu dan mbak Ocha aku kembali membasuh wajah dengan air wudhu.

Setelah itu, kami sholat dua rakaat, ku buka kitab suciku, ku lantunkan doa-doa untuk almarhum mbak Santi. Deraian air mataku belum juga berhenti, hingga adzan sholat subuh.

ARWAH PENASARAN SANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang