PART 6

6.7K 406 45
                                    

Sepulang dari puskesmas, kakek membuat beberapa rajah, ditulis di balik kulit hewan. Bertuliskan huruf arab, lalu di bungkus dengan kertas putih serta kain berwarna putih juga.
Lalu ditempelkan di atas pintuh tiap rumahku, terutama di balik pintu kamarku.

"Mbah...." Sapaku saat menghampiri kakekku, yang duduk di ruang tamu, dengan membawa secangkir kopi singa kesukaannya di tanganku.

"Hmmmm...." Jawab kakek melihatku.

"Ngak usah di bongkar wis kuburane mbak Santi, ngarai heboh sak kampung engkok mbah" (Tidak usah di bongkar kuburannya Mbak Santi bikin heboh desa nanti)

Kataku saat duduk disebelahnya, dengan menaruh kopi untuknya.
Kakek heran dengan penuturanku, ia nampak berfikir sejenak sebelum menjawab.

"Seumpomo di bongkar, terus kate di apakno engkok, kate di suceni yo opo maneh, mesti wes akeh belatunge mbah" (Seumpama di bongkar, mau diapain lagi nanti, mau di sucikan bagaimana lagi, pasti sudah banyak belatungnya)
Lanjutku, meyakinkannya agar mengurungkan niat membongkar makam mbak Santi.

"Yo di kubur ulang, ngae coro N*, supoyone ora dadi molo" (Di kuburkan ulang dengan cara **, biar tidak jadi petaka)

Jawab kakekku, memang cara mengubur sangat berbeda dari kebanyakan orang.

Selentingan kabar yang kudengar, mbak Santi di kuburkan dengan cara yang tak lazim. Seperti halnya mengubur bangkai binatang.

Menjelang pukul 2 Siang, kakek pamit mengurusi usaha keluarga, sebelum kakek pergi semalem beberapa rajah sudah di pasang di atas semua pintu rumahku.

"Shep kate nandi awakmu iku" (Shep mau kemana kamu itu)
Tanya ibu, saat aku mengeluarkan vario putihku.

"Dolen buk, bosen ndek omah tok" (Pergi main, bosan di rumah terus)
Jawabku, seakan tak peduli dengan wajah ibu yang mulai geram karena ulahku.

"Kumat nek golek pekoro terus ae yo, mbok seng anteng nek omah" (Kumat bikin gara gara terus, mending di rumah saja)

Kata ibu mencegah niatku, yang akan kelayapan di siang hari.

Ku ulurkan tangan kananku pada ibu, secara cepat ibu menyambut uluran tanganku.

"Njalok duwek kok, malah di salami" (minta uang kok malah berjabat tangan)
Sahutku ketus, karna kutahu ibu sengaja pura pura tak mengerti maksudku.

"Ora due duwek" Jawab ibu melengos.

"Buuuukk" Suara beratku, saat niatku tak di kabulkannya.

Ibu masuk kedalam, tak beberapa lama ia keluar membawa jaket merahku.

"Jaketan! Awas koen moleh sore." (Pakai jaket, awas pulang sore hari)

Kata ibu, sambil menyodorkan jaket padaku.

"Lha duwik e, endi buuukk" (uang nya mana)

Jawabku memelas, lalu mengambil jaket dari uluran tangannya.

"Wes nek kesak jaket, kerjo ngawatiri, gak kerjo nitili duwek teros" (Sudah di saku jaket, kerja bikin khawatir, gak kerja mintain duit)
Jawab ibu, lalu mulai menyapu pasir dari bekas roda motorku.

Meski sedikit bergidik ngeri, saat ku parkirkan motorku, depan rumah Juminten yang berseberangan langsung dengan rumah pak Anam.
Mataku terus memandang ke arah rumah pak Anam, sebelum meninggalnya mbak santi puntu rumah mereka, sering terbuka atau sengaja di buka. Sekarang rumah pak Anam nampak sepi, bahkan seperti rumah yang di tinggalkan pemiliknya meski mereka berada di dalam rumah.

"Shep" Tegur Mak Ten ibu Juminten, saat melihatku di depan rumahnya.
Juminten itu, sebenarnya nama ibunya, sedangkan nama aslinya adalah Ella.
Karena saat kecil kami saling olok nama panggilan, dan aku kalah dari Ella karena namaku di pelesetkan menjadi Shapi. Maka dari itu kusebut nama emaknya saat menimpali olokkannya.

ARWAH PENASARAN SANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang