Part 17

5.1K 342 16
                                    

Malam di saat semua temannya berlari ketakutan, Eva juga terkejut karena penampakan pocong yang tiba-tiba jatuh di tengah-tengah mereka.

Mata Eva beradu pandang dengan Shepia yang tengah berlari menjauh, karena tangannya di tarik oleh Dista.

Dalam diam Eva mencerna semua kejadian, demi kejadian yang mereka alami. Berlari menjauh tidak akan menyelesaikan semua masalah yang sudah terjadi.

Timbul rasa bersalah karena ia yang menuntun semua teman-temannya, masuk dalam perangkap licik Pak Anam bersama Mbah Harjo.

Kini Eva sadar. Saat pertama kali datang ke desa sebelum memasuki hutan, mereka sudah masuk dalam permaianan Mbah Harjo.

Air mata sebagai tanda penyesalannya, mengalir membasahi kedua pipinya. Dalam duduk meringkuk, memeluk kedua lututnya, Eva mulai mengutuk dirinya sendiri.

Rasa bersalah akan nasib kelima temannya, yang di haruskan mati sampai besok malam. Serta teriakan kesakitan dari para gadis korban tumbal pesugihan, untuk Nyai Rukmi membuat hatinya semakin menciut.

Malam semakin sunyi, Eva yang masih terpuruk karena rasa bersalahnya menangis keras, dalam kegelapan malam.

Ingatan Eva kembali mengingat masa lalunya, bersama Shepia. Meski beda kelas dan Eva lebih tinggi satu tingkatan, kisah persahabatan mereka berdua selalu ia kenang.

Eva yang memiliki latar belakang seorang Anak indigo, tentang agama yang di anutnya. Menjadikan dirinya di kucilkan dalam pergaulan.
Hanya Shepia yang mengulurkan tangan padanya, menerimanya layaknya seorang saudara kandung sendiri.

Kini ia sadar, tentang sebuah jalan yang akan pilih. Berlari menyelamatkan dirinya sendiri, atau berkorban demi kelima temannya. Ia kepalkan erat kedua tangannya, lalu mengusap sisa air matanya yang telah berhenti mengalir.

Eva beranjak dari duduknya, pocongan yang yang tadi muncul hanyalah siasat Mbah Harjo agar kami terpencar, dan saat kami berpencar karena rasa panik bercampur ketakutan di sanalah teror kiriman akan di lancarkan, oleh Mbah Harjo.

Dalam diam Eva memandangi langit pekat, tanpa taburan bintang di malam hari. Senyuman bahagia menghiasi bibir tipisnya, ia sudah membulatkan tekad.

Eva bergegas berlari keluar dari bangunan tua yang telah roboh, ia berlari tanpa penerangan cahaya. seolah tau arah arah tujuannya saat ini.

Seandainya temannya tadi tidak berlari, seandainya mereka masih berkumpul, tidak terpencar. Mungkin mereka berenam masih selamat sampai saat ini.
Namun ia hanyalah manusia biasa, ia tidak bisa menyalahkan keadaan yang sudah terlanjur terjadi.

Yang harus ia lakukan saat ini adalah. Bagimana caranya menyelamatkan mereka meski dengan taruhan nyawanya sendiri.

Eva sudah sampai di sungai kecil, di sebrang sungai. Sudah terlihat gapura kecil dengan lumut yang tumbuh menjalar di tiap bagian gapura.

Eva semakin mempercepat larinya, menyeberangi sungai dengan bebatuan di tengah sungai, dengan air jernih.

Keringat yang keluar membasahi keningnya, nampak tak di dihiraukan oleh Eva.

Tangga kecil yang mengarah ke atas bukit, dengan pohon bambu yang tumbuh lebat di samping kiri kanan anak tangga. Membuat suasana malam semakin angker.

Di atas bukit, tanah lapang dengan pagar setinggi satu meter yang mengelilingi tanah tersebut. Menjadikan pembatas antara tempat ritual dengan pohon bambu di sekitar tempat itu.

Seorang pria paruh baya sedang duduk bersila, di depan gundukan tanah kuburan dengan batu nisan kayu yang telah lapuk termakan usia, menandakan usia kuburan tersebut sudah puluhan, bahkan ratusan tahun silam.

ARWAH PENASARAN SANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang