PART 7 (Bagian 2 Teror Malam)

5.8K 368 17
                                    

Malam semakin panjang, begitu juga dengan kejadian demi kejadian terus bermunculan.

Aku dan Juminten meyandarkan punggung di tembok, sementara Eva masih serius bersila dengan meditasinya.

Suasana menjadi hening, ku atur nafas yang terasa sesak di dada. Berkali kali Juminten membasuh keringat di keningnya.

Lamat lamat terdengar suara orang sedang berbincang dari arah jalan depan, "Koen krungu Shep?" (Kamu dengar Shep?) Tanya Juminten padaku, karena mendengar suara orang sedang berbicara.
Semakin lama suaranya semakin mendekat, Juminten menautkan kedua alisnya.
Siapa juga yang malam malam begini sedang di luar, pikir kami.

Juminten menarik paksa tanganku, untuk memastikan di mana suara itu berasal, karena rasa penasaran aku tak menolak saat Juminten menarik tanganku, kami merangkak ke arah jendela.

Suara khas becak yang kayuh, dengan penumpang di depannya sebagai bobot muatan menimbulkan bunyi kriet, kriet, saat di kayuh.

Kami berdua saling pandang heran, jangan jangan becak Cak Johan ikut jadi hantu.

Dengan wajah pucat kami berdua menekan rasa ketakutan, hanya karena rasa penasaran oleh suara obrolan yang semakin jelas terdengar di telinga.

Mata kami berdua terbelalak tak percaya, dengan apa yang saat ini kami lihat dengan mata kepala kami sendiri.

Deg.

Becak di kayuh pelan memasuki gang rumah Isna, lalu di kursi penumpang depan becak yang sedang melaju pelan.

Mbak Dista adik kandung mas Roni sekaligus kakak sepupuku, sedang duduk santai serta berbicara sendirian. Lalu di kursi pengemudi tak ada siapa pun di sana, becak itu melaju sendiri tanpa pengemudi.

Takut sekaligus heran dengan apa yang kulihat saat ini, kucubit keras lengan Juminten, agar aku tau ini nyata atau sekedar mimpi semata.

"Loro gendeng!" Kata Juminten pelan, menahan suaranya agar tak memulai keributan di antara kami.
Seakan menyaksikan trik sulap, saat menyaksikan mbak Dista di atas becak, dengan jantung berdebar debar, serta keringat dingin yang mulai membasahi badan kami.

BUUKKK....

Suara sesuatu jatuh dari atas pohon rambutan, kami berdua yang sedari memperhatikan mbak Dista yang berbicara sendirian, menoleh ke arah pohon rambutan karena mendengar suara jatuh dari sana.

Aku Berharap ini hanya bunga tidur semata.

Di sana.

Di bawah pohon rambutan, sosok tubuh dengan wajah hancur sedang merayap keluar dari kegelapan.

Juminten menelan ludah saat melihat mbak Santi yang merayap dari bawah pohon rambutan.

Mbak Dista yang turun dari becak, terlihat gemetaran memandang ke arah mbak Santi yang merayap ke arahnya.

Dista berdiri kaku memandang ke arah mbak Santi yang terus merangkak pelan ke arahnya.

Allah Hu Akbar.
Allah Hu Akbar.

Mulutku lirih mengucap asma Allah, Sedangkan Juminten meraih gagang pintu lalu membukanya, seraya setengah berteriak "Dis, Distaaa" Suara Juminten membuyarkan, mbak Dista yang sedari tadi berdiri kaku melihat ke arah mbak Santi.

Mbak Dista berlari menuju pintu rumah Isna yang sedikit dibuka oleh Juminten, raut wajahnya mengisyaratkan ketakutan seperti yang kami berdua alami.

Juminten menutup pintu kembali saat, mbak Dista sudah memasuki rumah Isna, dengan badan gemetaran matanya memandangi kami satu persatu, tas besar yang ia bawa di tinggalkan begitu saja di atas jalan paving.

ARWAH PENASARAN SANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang