PART 5

6.4K 420 34
                                    

Setiba di puskesmas, aku dan Juminten memilih diam tak membicarakan mbak Santi lagi. Meski perjalanan ke sini tadi kami melihat mbak Santi dengan ekspresi sedih di wajahnya.
Entah apa yang mau disampaikanya pada kami, beberapa kali kucoba memijit telapak tanganku, agar ibu tak curiga dengan ketakutan di wajahku.

"Ayahmu sido nyusul, Shep" (Ayah kamu, jadi menyusul) Tanya ibu, saat mengetahui aku berjalan diikuti Juminten ke arahnya.

"Sido buk, tapi mampir omah'e mbah kakung disik" (Jadi buk, tapi mampir kerumah mbah kung dulu) Jawabku, menepis ketakutan di wajahku.

"Raimu kok pucet ngono, rene" (wajah kamu kena pucat begitu) Kata ibu yang memandangi wajahku, ditariknya tanganku untuk duduk di sebelahnya. Memang aku tak bisa membohongi ibuku, insting seorang ibu sangat tajam pada anaknya. Begitu juga ibuku, ia akan tau jika aku berbohong atau menutupi sesuatu darinya.
Dulu ibu mati matian menolak keinginanku, untuk bekerja. Ia khawatir jika terjadi sesuatu padaku, aku merengek kukuh dengan pendirianku ingin tetap bekerja.

Ku sandarkan kepalaku di pangkuannya, ia menanyaiku berbagai hal, tentang perlakuanku pada dua pemuda tadi, atau mbak Santi yang datang lagi, mulutku kelu untuk menjawab semua pertanyaan ibu.

"Pindah nang omahe mbah kakung a, Shep" (Pindah ke rumah mbah) Tanya ibu, dengan membelai rambutku.
Aku menggeleng pelan, pindah kerumah kakek akan membuat ibuku tertekan, ibu tidak disenangi oleh saudara ayahku. Hanya gara gara ibu orang biasa, tak sebanding dengan derajat keluarga ayahku.

Meski kakekku tak mempermasalahkan hal itu, tapi pandangan pak De Kus, dan istrinya pada ibuku, seperti memandang seekor binatang peliharaan, jika pindah kerumah kakek ibu akan kembali dijadikan babu oleh saudara ayahku di sana.

Tanpa terasa aku terlelap saat mendengar obrolan ibu bersama yang lainnya, Juminten tidur dibelakangku.

***

Mbak Santi terlihat sedih duduk depan kursi rumahnya, wajah rupawannya yang dulu selalu ceria, di kala bersenda gurau dengan kami remaja kampung, kini terlihat sedih.
Ingin rasanya kusapa menanyakan ada apa gerangan, saat wajah murungnya menunduk lesu.
Mata sayunya memandang ke arahku yang berdiri mematung memperhatikannya. Kakiku terasa berat ketika ingin menghampirinya, dari matanya ia seperti meminta tolong padaku.

Aku terkejut dengan mimpiku barusan, mbak Santi. Sebenarnya apa maksud dari mimpiku tadi.

"Ssssstttt...." Suara Juminten memberi isyarat lirih padaku.

"Mbak Santi teko kene" (mbak santi datang kesini) Lanjutnya lirih.

Deg...

Aku baru sadar saat terbangun, tidur berbantalkan tas berisi barang bawaan yang di bawa ibu dari rumah. Sedangkan di sisiku mbak Ocha terlelap, serta Juminten yang tidur dibelakangku.
Suasana puskesmas yang tadi ramai kini nampak sepi, hanya beberapa orang yang tidur menunggu sanak saudara mereka yang dirawat di sini.
Mungkin ibu dan lek Tutik tidur di dalam menemani Sofi.

Juminten semakin merapatkan badannya ke tubuhku, badan kami saling bergetar satu sama lain.

Sunyi !

Jika biasanya beberapa orang masih berlalu lalang di sekitar kami, malam ini sangat sepi bahkan suara orang sedang mengobrol pun tak terdengar.

Sreekk... Sreekk... Sreekk...

Suara langkah kaki yang diseret seperti sebelumnya,

Sreekk.. Sreekk...

Suara pelan kaki di seretnya semakin mendekat ke arah kami.

Keringat dingin membasahi kami berdua, kugeser pelan badanku merapat ke arah mbak Ocha.

Sreekk... Sreekk...

ARWAH PENASARAN SANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang